laut indonesia

Jakarta (Metrobali.com)-

“Singapura, negara kecil se-upil itu sampai ‘hire’ (menyewa-red) ilmuwan-ilmuwan hebat dari luar negeri. Karena mereka tahu bahwa negaranya tidak bakal dapat bersaing tanpa ‘basic research’ (riset dasar-red) yang kuat,” kata Dekan Fakultas Ilmu Kemaritiman dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jamaluddin Jompa kepada Antara.

Dalam kabinet baru, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, menggarisbawahi bahwa riset yang dilakukan harus mampu mendukung industri.

Ia juga mengatakan hasil riset seharusnya tidak sekadar untuk koleksi saja. Namun, perlu dihilirisasi agar bisa dimanfaatkan dan memberikan nilai keekonomian bagi masyarakat dan negara.

Karena itu, dari 10 persen hasil riset yang dimanfaatkan masyarakat saat ini, ditargetkan meningkat menjadi 50 persen di masa depan, sehingga diharapakan mampu mendongkrak Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riset yang selama ini sangat rendah.

Namun, apakah semua riset memang harus bersifat aplikatif, dan di mana riset harus ditempatkan dalam sebuah pemerintahan suatu bangsa? “Saya kira harus hati-hati, seandainya bisa bangsa di dunia ini menyelesaikan persoalannya dengan penelitian aplikatif saja maka tidak ada orang mengembangkan ‘basic science’. Tapi sayangnya itu (hanya mengandalkan penelitian aplikatif) tidak terjadi,” ucap Jamaluddin.

Ia mengatakan tidak ada masalah strategis yang bisa dipecahkan tanpa “basic science” yang kuat. Sehingga yang mencoba mencari cara instant tidak jarang akhirnya hanya membuang-buang uang dan waktu, parahnya masalah tidak selesai.

“Betul kita harus bisa memiliki prioritas untuk menyelesaikan masalah yang ada sekarang, tapi jangan lupa kita juga harus dapat menyelesaikan masalah berdasarkan penelitian dasar,” lanjut Jamaluddin.

Ia berharap pengurangan anggaran di kementerian/lembaga yang dialihkan untuk infrastruktur dapat benar-benar dialihkan untuk hal produktif, termasuk untuk perkembangan penelitian ilmu pengetahuan Indonesia.

“Data sudah terang benderang, dan kita juga sudah sadar bahwa negara yang berkembang pesat di dunia saat ini tidak mungkin tanpa campur tangan riset. Mudah-mudahan pemerintah sadar menyiapkan generasi emas yang siap bersaing di masa depan,” ujar dia.

Daya saing bangsa Indonesia, menurut dia, akan terus melorot jika tidak mengembangkan sains, teknologi, dan inovasi. “Mudah-mudahan pemerintah segera sadar untuk itu”.

Mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim, saat menjabat menegaskan bahwa seharusnya semua kebijakan yang diambil dalam pemerintahan berdasar pada hasil-hasil kajian ilmiah. Pemerintah tidak bisa lagi seenaknya membuat keputusan-keputusan penting tanpa didasari oleh sains.

Dana riset Tidak bosan-bosan para profesor, ilmuwan, akademisi, peneliti bersuara tentang minimnya dana riset selama ini di Indonesia. Tidak pula berniat untuk merengek, namun nyatanya angin segar seperti enggan berhembus kepada mereka yang berkutat pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini.

Dalam satu ekspedisi gabungan yang melibatkan peneliti Indonesia dan Prancis di bagian leher kepala burung di Kaimana, Papua Barat, koordinator tim peneliti dari LIPI Gono Semiadi mengaku tidak ada dana penelitan dari pemerintah.

“Kami cari sponsor. Kalau IRD (Institute of Research for Development-red) Prancis mungkin mereka punya anggaran sendiri.” Jamaluddin terdengar geram saat berbincang dengan Antara mengenai sulitnya mendapat dukungan dana untuk membangun laboratorium untuk riset pakan ikan. “Saya cuma punya semangat. Kami punya empat doktor bidang perikanan, dua profesor bidang pakan ikan tapi tidak bisa apa-apa”.

Dari produksi perikanan budi daya mencapai delapan hingga 12 juta ton per tahun dana sebesar Rp80 triliun digunakan untuk membeli pakan ikan dari Thailand. Ia hanya ingin membantu menyelesaikan persoalan ini dengan mengembangkan pakan ikan sendir, namun apa daya pemerintah tidak berpihak.

“Geregetan saya. Sekarang saya tanda tangan kontrak penelitian dengan Australia, mereka justru yang minat mau bantu,” ujar dia.

Menristekdikti berjanji mengupayakan peningkatan dana riset dari 0,09 persen menjadi 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di periode 2015–2016. Ia berharap swasta benar-benar ikut berperan kali ini.

Saat ini, ia mengatakan porsi belanja penelitian dan pengembangan pemerintah masih paling besar mencapai 74 persen, sedangkan pihak swasta hanya 26 persen. Kondisi ini membutuhkan kerja keras dari pemerintah untuk mendorong sektor swasta ikut berkontribusi memajukan iptek, karena di negara-negara berkembang dan maju rata-rata kontribusi swasta mencapai 80 persen.

Langkah yang diambil untuk mendorong peningkatan rasio penelitian dari sektor swasta, ia mengatakan akan segera menemui Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno untuk mengupayakan penempatan dana “Corporate Social Responsibility” (CSR) BUMN dapat pula diarahkan untuk mendorong riset.

“Saya akan coba dorong sektor swasta baik melalui BUMN maupun BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal–red), akan saya coba kumpulkan, diskusi dengan mereka untuk mendorong peningkatan alokasi anggaran maupun output yang hasilnya riset,” lanjutnya.

Ia berharap dari dana CSR ada yang dimanfaatkan untuk riset tertentu yang memang manfaatnya dapat kembali menguntungkan pihak swasta.

“Toh jika hasil riset tersebut bisa meningkatkan produktivitas perusahaan, angkatan kerja yang terserap akan besar. Kita tidak bisa berpikir hanya memberikan dana segar ke masyarakat tapi harus diarahkan ke produktivitas,” ujar Nasir.

Sebelumnya Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain dalam paparan buku saku Indikator Iptek Indonesia 2014 hasil dari survei dan penelitian Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappiptek) LIPI mengatakan kondisi iptek nasional dalam lima tahun terakhir bergerak melambat dan dapat dikatakan stagnan.

Indikasi tersebut dapat dilihat dari Peningkatan Rasio belanja litbang nasional (GERD) terhadap PDB di 2013 hanya 0,01 persen dari tahun sebelumnya. Saat ini GERD Indonesia 0,09 persen, dan angka tersebut kalah dengan GERD Malaysia yang mencapai satu persen (2012), Thailand 0,25 persen (2012), dan Singapura 2,1 persen.

Kepala Pappiptek LIPI Trina Fizzanty mengatakan berdasarkan data ekspor industri manufaktur Indonesia, kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor mengalami penurunan dari 63,2 persen di 2006 menjadi hanya 55,5 persen di 2011.

Angka tersebut, menurut dia, sangat kecil jika dibandingkan negara lain yang memiliki kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspornya mencapai di atas 80 persen seperti Malaysia yang mencapai 81,18 persen, Singapura mencapai 89,76 persen, Korea Selatan mencapao 96,74 persen, dan Tiongkok mencapai 96,17 persen.

Dan khusus untuk manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi dan menengah seperti industri farmasi, kendaraan bermotor, elektronik, Indonesia hanya memiliki kontribusi sebesar 28,92 persen terhadap total ekspor.

Angka tersebut, ia mengatakan tentu jauh tertinggal dari Malaysia yang memiliki kontribusi sebesar 59,11 persen, Singapuran 68,99 persen, Tiongkok 58,96 persen, dan Korea 71,85 persen.

Kembali Jamaluddin berkomentar bahwa industri di dalam negeri sudah terlalu nyaman dengan keuntungan yang diperoleh dari membeli dari luar negeri, bukan berinovasi sendiri dengan melakukan riset sendiri.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Riset dan Teknologi Ilham A Habibie tentang kondisi ini. Alasan industri membeli teknologi dari luar negeri karena merasa lebih aman, karena untuk melakukan penelitian dan pengembangan memakan waktu lama dan biaya besar.

Butuh waktu untuk merubah mindset banyak pihak di negeri ini bahwa riset adalah hal penting yang harus dilakukan. Dan pemerintah, dalam hal ini Presiden, menjadi penentu dari berkembangnya sains dan teknologi sebuah bangsa. AN-MB 

activate javascript