Ngurah Karyadi1
Oleh: Ngurah Karyadi

Di negeri ini, cerita kelompok bandit pimpinan Ken Arok, yang menyerang Tumapel, dengan membunuh Tunggul Ametung dan mendirikan kerajaan Singasari, dapat dijadikan contoh. Contoh lain, kisah Untung Surapati, bekas budak (diduga asal Bali), yang membentuk kelompok bandit guna merampok harta para pengusaha dan penguasa penjajah untuk di bagikan kepada kaum miskin, dan akhirnya menjadi penguasa di Pasuruan. Di belahan dunia lain, ada Ned Kelly di Australia, Billy the Kids di Amerika Serikat, Panco Villa di Mexico, dan sejenisnya.

Kita tidak perlu apriori terhadap dunia  bandit, rampok, preman, ormas dan sejenisnya. Mereka adalah produk dinamika kekuasaan. Pernah terjadi dalam suatu zaman, aksi para bandit berubah jadi gerakan sosial, bahkan revolusioner. Mudah-mudahan kita (tidak) sedang dalam situasi tersebut, mencermati berbagai kekerasan dan kerusuhan ormas, di Bali, Purwakarta dan berbagai belahan negeri.

Pemaknaan
Kata “preman” sering disamakan dengan “bandit”, sehingga selalu diasosiasikan dengan dunia kejahatan dan kekejaman. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain terbitan Pustaka Sinar Harapan (2001) kata “bandit” diartikan sebagai “penjahat besar.” Sementara kata “preman”, diartikan “tidak bersereragam”, atau bukan petugas.

Kini istilah tersebut yang setengah pingsan dan digantikan dengan: “Organisasi Massa” (Ormas). Sesuatu yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan seiring reformasi 1998. Di kaitkan dengan eforia kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun kini mendapat konotasi negatif, setelah beberapa kalangan mengutarakan bahwa negara ini dikuasai para bandit, preman, begal dan sejenisnya.

Preman atau organisasi massa memang tidak selalu berhubungan dengan kriminalitas. Namun jika ditilik lebih jauh, dunia preman bisa dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Di Indonesia, penjahat yang pahlawan, atau pahlawan yang penjahat, memang pernah turut mewarnai jalannya sejarah. Bandit, benggol, lenggaong, kecu, jago dan jawara adalah istilah-istilah yang disepadankan kepada orang-orang tidak berseragam, dan bermukim di wilayah “abu-abu”.

Banyak mitos yang menyelubungi kisah perbanditan. Di Inggris, kisah Robinhood dikenal sebagai bandit dermawan, sering menjadi inspirasi. Mereka berpegang pada kode etik: hanya merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin. Namun kemudian sering terjadi sebaliknya, melindungi penguasa dan pengusaha yang merampok dan menindas rakyat daerah, atau negerinya.

Terminologi atau istilah mengenai premanisme biasanya memang dipandang dari sudut yang subyektif, tergantung dari mana istilah itu diberikan. Biasanya terminologi itu muncul dari kalangan penguasa. Dimana preman dan premanisme selalu mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Sementara, bandit itu mencakup pengertian: perampok berkawan; seorang yang mencuri; membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu (gangster); seorang yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar; dan musuh.

Preman dan bandit pada zaman kolonial juga bisa dipahami sebagai bentuk resistensi politik terhadap penguasa. Kata bandit memang berkonotasi buruk. Dan penamaan itu memang diberikan oleh pemerintah kolonial di dalam laporan-laporannya, terutama di dalam proces verbaal terhadap pelaku yang kebetulan adalah rakyat pribumi.

Ada beberapa sarjana yang pernah meneliti tentang dunia perbanditan, di antaranya Eric J. Hobsbawm, sejarawan Inggris yang mendefinisikan bandit sebagai seorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Namun demikian menurut Hobsbawm, bandit terbagi ke dalam dua kategori: bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit).

Kolonial dan banditnya
Pada periode awal abad ke-19, sulit membedakan perbanditan dengan kriminalitas biasa. Sejak pertengahan abad ke-19 pengaruh kultur barat makin kuat ke pedesaan. Pengaruh ini makin marak dengan hadirnya perkebunan dan pabrik di pedesaan Jawa sebagai pusat eksploitasi agraris. Terpuruknya kehidupan ekonomi di kalangan rakyat bawah mendorong munculnya kriminalitas yang acapkali dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat yang punya muatan politis di dalam menjalankan aksinya.

Seperti kisah Robinhood, atau Untung Surapati, para bandit yang terkenal di zaman kolonial adalah Mas Jakaria dari Banten. Karir banditnya berlangsung dari lebih dari 25 tahun. Mendiang ayah Jakaria juga seorang bandit yang dijuluki sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial. Mas Jakaria melancarkan aksinya kepada golongan kaya dan membagikan hasil kejahatannya untuk rakyat miskin. Dari aksinya itu Suhartono mengategorikan Mas Jakaria sebagai bandit sosial.

Bandit sosial lain yang juga terkenal adalah Saniin Gede yang hidup pada abad ke-19. Menurut penuturan Multatuli di dalam Max Havelaar perbanditan di Banten sudah terorganisasikan sejak awal abad ke-19. Sama halnya dengan Mas Jakaria, Saniin Gede juga membagikan rampasannya kepada rakyat jelata.

Salah satu bandit sosial yang melakukan pembangkangan terhadap penguasa kolonial adalah Entong Gendut. Perbanditan ala Entong Gendut yang dilakukan pada 1916 itu merupakan simbol resistensi anti tuan tanah. Entong Gendut mewakili ketidakpuasan petani tanah partikelir di Tanjung Timur, Afdeling Jatinegara, Batavia. Perlawanan Entong Gendut ini kemudian berkembang menjadi gerakan quasi-religius, atau gerakan “ratu adil”.

Gerakan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu terjadi pada di awal tahun 1916. Saat itu Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi Taba untuk melakukan eksekusi. Seluruh harta kekayaannya harus ia lego untuk mebayar hutang sebesar f.7,20. Entong Gendut yang pada waktu itu sudah terkenal sebagai jago Betawi mencoba menggagalkan upaya Asisten Wedana itu. Saat itu Entong Gendut dan anak buahnya membubarkan pertunjukan topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova. Sementara itu rumah tuan tanah Tanjung Timur D.C. Ament dilempari batu oleh sekelompok penduduk.

Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukungnya semakin bertambah banyak. Kemudian Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen Jatinegara tentunya. Oleh karena itu,  Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut yang disertai 40 orang pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh polisi yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah. Perlawanan Entong Gendut dapat dipatahkan seketika dan Entong Gendut sendiri tewas diterjang peluru polisi.

Perbanditan lain yang juga masuk ke dalam kategori resistensi politik adalah gerakan Kaiin Bapa Kayah. Ia adalah petani kecil dari aderah Tangerang. Sejak zaman VOC daerah Tangerang menjadi tanah partikelir yang disewakan kepada orang-orang Tionghoa secara turun-temurun. Petani setempat yang menggarap lahan di sana dikenai pajak (cuke) sebesar seperlima hasil panen. Selain cuke, petani juga masih dibebani oleh pajak kompenian, sebuah aturan pajak dari VOC yang diberlakukan kepada petani untuk membayar pemakaian tanah untuk rumah, pekarangan dan tegalan. Pajak kompenian itu lantas digunakan untuk membiayai perbaikan jalan, jembatan dan ronda.

Dalam sebuah pesta khitan anak tirinya di awal tahun 1922 ia mengumumkan dirinya akan menjadi raja di tanah Pangkalan dan Tanah Melayu. Saat itu ia berjanji akan mengusir orang Tionghoa sekaligus menghapuskan pajak cuke dan kompenian. Ia pun melancarkan aksinya dengan menangkapi warga Tionghoa dan yang berjanji akan pulang ke negerinya dibebaskan. Namun gerombolan Kaiin Bapa Kayah dapat dihentikan setelah terjadi baku tembak dengan polisi.

Dalam model perbanditan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah itu merupakan manifestasi dari kekecewaan petani terhadap tingginya beban pajak. Padahal hidup mereka sehari-hari amat mengandalkan tanah partikelir itu.

Pada periode paruh kedua abad ke-18 hingga awal abad ke-19 pemerintah kolonial selalu dibuat resah dengan maraknya gerakan perbanditan. Beberapa aksi itu memang lahir dari keadaan sosial ekonomi yang memprihatinkan. Namun tidak sedikit juga perbanditan yang memang motivasinya kriminal murni.

Secara umum situasi keamanan di Hindia Belanda, khususnya di Banten dan Batavia diliputi oleh keadaan yang kurang kondusif. Di sana sini terjadi kemelorotan ekonomi, terutama di kalangan rakyat pribumi kelas bawah. Keadaan yang demikian menjadi pemicu bagi munculnya gerakan perbanditan, baik yang bersifat kriminal biasa maupun yang bersifat sosio-politik.

Bandit revolusioner
Memasuki periode revolusi atau pasca kemerdekaan RI pun perbanditan tak kalah menariknya untuk disimak. Dalam periode ini terjadi kekaburan identitas di antara dua elemen sosial yang sebenarnya sangat kontradiktif. Bandit yang menjadi pejuang dan pejuang yang menjadi bandit.

Pada masa revolusi, para bandit atau yang kerap disebut jagoan dihadapkan pada dua pilihan: menjadi seorang kriminal, atau revolusioner. Akan tetapi pada kenyataannya para jagoan itu itu mencampuradukkan dua dunia yang bertolak belakang itu untuk kepentingan pribadinya. Seorang penjahat sejati menganggap revolusi sebagai kesempatan baik untuk melakukan kejahatan. Seringkali, pemimpin bandit mencari legitimasi untuk revolusi dengan cara mengadopsi status formal seorang penguasa.

Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa.

Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143).

Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan.

Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot Lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi sisa-sisa agen NICA.

Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Suatu sejarah yang tidak jauh berbeda di Bali, dengan kelompok yang menamakan diri Lanjutan Organisai Gerakan Indonesia Semesta (LOGIS), yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai kelompok “Tameng” di masa Orba, dan turunanya.

Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman. Pada periode kolonial, perbanditan, khususnya yang bernuasa resitensi politik, merupakan reaksi dari penindasan penguasa kolonial. Sedangkan pada masa revolusi, seperti yang terjadi pada pemberontakan daerah, ataupun di masa Orde Baru, perbanditan mengemuka sebagai manifestasi perasaan dendam kepada pejabat yang korup, dan keterpurukan kehidupan ekonomi yang membelit kehidupan rakyat. Di masa kini? Mungkin sejarah yang akan menjawabnya. (****)