Denpasar (Metrobali.com) –

 

Bandesa Agung Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menekankan pentingnya memahami otonomi Desa Adat dalam konteks negara hukum Indonesia. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan bahwa sejumlah pihak masih salah mengartikan konsep otonomi, khususnya dalam kaitannya dengan Desa Adat di Bali.

“Otonomi tidak hanya berlaku bagi individu, tetapi juga bagi kelompok atau organisasi, termasuk Desa Adat. Namun, otonomi tersebut diatur dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,” ujar Ida Pangelingsir, Sabtu (19/10).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa setiap individu memiliki otonomi dalam mengatur kehidupannya, seperti memilih makanan, minuman, atau cara berpakaian.

Ini adalah bentuk hak asasi yang juga berlaku bagi kelompok seperti Desa Adat, yang memiliki hak untuk mengatur tradisi, pemilihan prajuru (pemimpin adat), serta pembuatan awig-awig dan pararem. Namun, semua itu harus sesuai dengan Bali Mawa Cara—aturan-aturan yang berlaku di Bali, serta Negara Mawa Tata—hukum dan peraturan nasional Indonesia.

“Desa Adat bukanlah ‘negara dalam negara’,” tegasnya.

Oleh karena itu, Desa Adat harus tunduk pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, serta seluruh hukum nasional, seperti hukum pidana, hukum perkawinan, dan hukum administrasi negara.

Ida Pangelingsir juga menekankan pentingnya Majelis Desa Adat (MDA) dalam memastikan Desa Adat tetap berjalan sesuai dengan Bali Mawa Cara dan Negara Mawa Tata. Menurutnya, MDA bukanlah atasan Desa Adat, melainkan lembaga yang berfungsi sebagai pembina dan pengawas agar Desa Adat tidak menimbulkan sengketa.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pengukuhan prajuru Desa Adat oleh MDA bukanlah bentuk intervensi.

“Pengukuhan dan pelantikan oleh MDA adalah sebuah upacara seremonial yang diadakan atas permintaan Desa Adat sendiri,” tambahnya.

Hal ini dilakukan agar struktur kepemimpinan Desa Adat terverifikasi sesuai dengan awig-awig yang berlaku.

Adapun jika terjadi gugatan terhadap prajuru yang telah dikukuhkan, proses persidangan yang adil dan jujur akan dilakukan untuk meminimalkan konflik di Desa Adat.

Ida Pangelingsir juga menegaskan pentingnya verifikasi awig-awig dan pararem oleh MDA dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinas PMA). Verifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh Desa Adat tidak bertentangan dengan hukum nasional dan Bali Mawa Cara.

“MDA dan Dinas PMA ikut bertanggung jawab atas isi awig-awig dan pararem. Ini bukan hal baru, pembinaan awig-awig sudah dilakukan sejak masa Gubernur Ida Bagus Mantera dan terus dilanjutkan hingga saat ini,” jelasnya.

Ida Pangelingsir menegaskan bahwa otonomi Desa Adat tetap dihormati dan dilindungi, selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Klaim bahwa MDA dan pemerintah menghilangkan otonomi Desa Adat dianggapnya sebagai kesalahpahaman yang besar.

“Adat Bali dan agama Hindu Dresta Bali adalah otonom di dalam NKRI, dan penyelesaian sengketa adat oleh MDA sesuai dengan awig-awig Desa Adat sangat membantu meringankan beban peradilan negara,” tutupnya.