Denpasar (Metrobali.com)-

Sidang lanjutan Gugatan Gubernur Bali kepada Bali Post di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dilangsungkan Kamis, 24 Mei 2012. Dalam persidangan yang dihadiri langsung Gubernur Bali Made Mangku Pastika itu ditampilkan dua saksi fakta dari pihak penggugat dan satu saksi ahli. Dua saksi fakta adalah Sekda Kabupaten Klungkung I Ketut Janapria dan Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Jro Gede Putu Suena. Saksi ahli adalah pengamat politik, pakar komunikasi, yang juga guru Universitas Pelita Harapan (UPH) sekaligus guru besar tidak tetap Unud Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, MA.

Sidang dibuka pukul 10.00 Wita oleh majelis hakim yang diketuai Amzer Simanjuntak dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Amzer Simanjuntak  didampingi dua hakim anggota dan seorang panitera.

Diawali pengenalan saksi fakta kemudian pengambilan sumpah saksi fakta, sidang dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada para saksi fakta terpusat pada ada tidak Gubernur Made Mangku Pastika mengeluarkan pernyataan bubarkan saja desa pakraman.

I Ketut Janapria yang tampil sebagai saksi fakta pertama dengan tegas mengatakan tidak ada dan tidak pernah mendengar Gubernur menyatakan membubarkan desa pakraman. Karena itu, ia mengatakan, berita Bali Post tanggal 19 September 2011 berbeda dengan kenyataan.

Selanjutnya, kesaksian kedua diberikan Jero Gede Putu Suena. Sama seperti Janapria, Bendesa Desa Pakraman Muncan, Selat, Karangasem ini juga mengatakan tidak pernah mendengar Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengeluarkan pernyataan membubarkan desa pakraman. Ia malah mengatakan kaget membaca berita Bali Post 19 September 2011 yang memuat headline pada halaman satu dengan judul Gubernur Bali Made Mangku Pastika : Bubarkan Saja Desa Pakraman.

Menurut Suena, berita Bali Post itu sejak awal sudah bias dengan mengatakan ada konflik antara Desa Pakraman Kemoning dengan Budaya. Padahal,  konflik desa pakraman itu tidak ada. Yang ada adalah kasus antartempek pengempon Pura Dalem Klungkung. Suena juga mengatakan sangat tidak mungkin Gubernur Made Mangku Pastika selaku pengelingsir jagat Bali mengeluarkan pernyataan membubarkan desa pakraman.

Menjawab pertanyaan Kuasa Gubernur mengenai respon para bendesa di Bali atas pemberitaan Bali Post itu, tegas Suena mengatakan, banyak yang marah dan sangat emosional. Ia sendiri selaku bendesa Muncan merasa tersinggung.

Berita Bali Post itu telah menebar pengaruh negatif yang mengguncang dan mengganggu keharmonisan desa pakraman di Bali. “Paiketan, paiguman dan pakilitan desa pakraman terusik,” terang Suena. Karena itu pada 21 September 2011 pihaknya meminta Gubernur Made Mangku Pastika menerima pengurus MUDP dan MMDP se-Bali untuk menjelaskan permasalahan sebenarnya. Keesokan harinya, 22 September 2011, atas dasar hasil perarem alit pengurus MUDP Bali, dikeluarkan edaran yang salah satunya berisi imbauan agar seluruh bendesa pakraman di Bali jangan menanggapi pemberitaan yang merusak paiketan, pakilitan dan paiguman desa pakraman Bali.

 

Fatal dan Berat

Selanjutnya sidang mendengarkan kesaksikan saksi ahli Prof Dr. Drs Tjipta Lesmana, MA. Penulis aktif sejumlah kolom media massa yang masih aktif menjadi wartawan ini mengatakan, pada 19 September 2011 lalu ia berada di Bali menghadiri rangkaian kegiatan peringatan Dies Natalis Universitas Udayana. Begitu turun dari pesawat, ia mendengar ada berita menghebohkan dimuat Bali Post. Ia pun langsung membeli Bali Post, dan benar ada berita headline di halaman satu dengan judul Gubernur Bali Made Mangku Pastika : Bubarkan Saja Desa Pakraman.

Setelah membaca berita itu, ia berkesimpulan, ada sejumlah pelanggaran berat yang sangat fatal dilakukan oleh Bali Post. Pertama, judul tak sesuai dengan isi. Kedua, sama sekali tidak ada elaborasi. Padahal, redaksi Bali Post semestinya tahu, berbicara masalah desa pakraman ini di Bali adalah berbicara permasalahan yang bukan lagi sangat sensitif tetapi sudah ultra sensitif. Harus ada elaborasi didalamnya. Ketiga, tidak ada konfirmasi dengan gubernur yang diberitakan mengeluarkan pernyataan membubarkan desa pakraman itu. Dan keempat, wartawan Bali Post tidak hadir di lokasi.

Tjipta Lesmana juga mengatakan, karena berita itu tidak dimuat berdasarkan fakta, maka berita itu adalah berita bohong. “Ini kesalahan fatal berikutnya,” urai Tjipta Lesmana seraya menjelaskan berita bohong bukan karya jurnalistik melainkan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi.

Selain melakukan empat pelanggaran berat yang sangat fatal, berita Bali Post pasca 19 September 2011 dinilai sangat jelas telah menunjukkan interpretasi pembunuhan karakter (character assasination) terhadap Made Mangku Pastika. “Kalau yang 19 September itu belum bisa disebutkan character assassination, tetapi itu juga merupakan berita bohong. Namun setelah itu, karena terus menerus dimuat sampai 22 September 2011, itu jelas character assasination,” tandas Tjipta semangat.

Dalam forum yang dipenuhi pengunjung itu Tjipta juga menjelaskan bahwa hak jawab bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan sengketa pers. Masih ada cara lain yang dapat dilakukan masyarakat yang tidak puas atas pemberitaan media. Cara-cara itu adalah menyampaikan hak jawab, konferensi pers, mengadukan kepada Dewan Pers, mengadukan kepada organisasi profesi wartawan, mengajukan gugatan perdata, dan melaporkan kepada polisi sebagai tindakan pidana. “Itu sah-sah saja dan tidak ada aturan yang bisa menghalangi,” kata Tjipta.

Sehubungan dengan hal tersebut, Tjipta mengatakan, apa yang dilakukan Gubernur Made Mangku Pastika sudah sangat jelas dan konstitusional. Karenanya, Gubernur berhak mendapatkan ganti rugi. Pasal 135 KUHaPER (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menyebutkanbahwa nilai ganti rugi itu akan semakin tinggi sesuai dengan makin tingginya jabatan dan nama baik seseorang.

Di bagian lain kesaksiannya, Tjipta mengatakan, UU Pers tidak mengatur format hak jawab. Tetapi dalam kode etik diatur.
Apakah jadikan somasi itu dibenarkan. Kasus ini persis dengan kasus Ketua DPR RI Marzuki Ali dengan Detik.com. Berita itu fatal. Judul tak sesuai dengan isi. Sama sekali tidak ada elaborasi. Ini fatal sekali. Ini forum penting luar biasa untuk pembelajaran para wartawan. Contoh tidak ada kutipan. Ini pelanggaran berat. Di Bali soal DP ultra sensitif. Yang fatal sekali berikutnya adalah tidak ada konfirmasi dengan gubernur.

Dikatakan, wartawan tidak hadir. Itu juga pelanggaran berat. Kasus ini semestinya tidak sampai pada meja sidang jika pimpinan Bali Post mau meminta maaf sejak awal sebagaimana dilakukan The Washington Post atas pemberitaan yang mengatakan TNI terlibat dalam kematian dua warga AS di areal tambang Freeport. Dengan penuh kesadaran, koran terbesar di AS itu memuat permintaan maaf selama tiga hari berturut-turut disertai rasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulang memuat berita yang kurang akurat data dan informasinya.

Sidang akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda masih mendengar kesakian saksi ahli yang diajukan pihak penggugat. SUT-MB