Denpasar (Metrobali.com)-

Risiko penyakit LSD yang menyerang ternak ruminanisa besar (sapi dan kerbau) di Bali tidak nihil. Risiko penyakit itu ada sehingga seluruh pemangku kepentingan peternakan di Bali perlu siapsiaga menghadapinya. “Risiko itu ada sehingga perlu kesiapsiagaan untuk mencegah dan menangani dengan sebaik mungkin,” tandas guru besar virologi dan biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika dalam Rapat Konsolidasi Program Percepatan Vaksinasi PMK dan Pencegahan Penyakit LSD di Provinsi Bali, kerjasama Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali dengan Australia Indonesia Health Partnership (AIHSP) di Aston Denpasar Hotel and Convention Center, Denpasar, Selasa, 22 Agustus 2023.
Menurut Mahardika, sebaran penyakit LSD di Indonesia kini telah menjangkiti seluruh wilayah Pulau Sumatera dan Jawa hingga Ketapang, Banyuwangi. Di Bali dan Nusa Tenggara memang belum ditemukan, namun bukan berarti Bali dan Nusra bebas penyakit LSD.
Hal yang sama disampaikan narasumber dari Balai Besar Veterinary Denpasar Dr. drh. I Nyoman Dibia, MP bahwa penyakit LSD belum ditemukan di Bali, tetapi sudah masuk Indonesia sejak Juni 2022. Penyakit ternak yang berasal dari Afrika ini menyerang ruminansia besar seperti kerbau dan sapi tetapi tidak menyerang kambing dan domba. Ternak yang diserang akan tampak begitu buruk karena kulitnya benjol-benjol seperti terserang penyakit cacar, penampilan sapi dan kerbau menjadi jelek dan secara ekonomi harga jualnya menjadi sangat rendah bahkan tidak mau dibeli.
Penyakit ini disebabkan oleh virus cacar yang tidak ada obatnya tetapi bisa dicegah dengan cara vaksinasi. Tingkat kematian ternak cukup tinggi, yakni 10 persen, atau 10 per 100 ekor ternak.
Virus LSD sangat cepat menyebar. Sangat stabil pada suhu kamar, bertahan hidup hingga satu bulan, dan peka deterjen. Kabar baiknya adalah virus LSD dapat diinaktifkan dengan larutan kaporit atau klorin (byclean, proclean) dan cairan berbasis alkohol. Virus LSD menular melalui sapi, kerbau, lalat kandang yang bisa terbang sampai 20 km per hari, bisa juga ditularkan oleh caplak dan sarana lalu lintas ternak, termasuk tenaga kesehatan hewan yang tidak steril.
Sehubungan dengan hal tersebut, kedua pakar menyampaikan, Bali perlu melakukan deteksi dini, pelaporan dini, dan tanggap dini cepat jika ditemukan kasus. Meneruskan kebijakan larangan memasukkan ruminansia besar, melakukan langkah isolasi, dan pengetatan lalu lintas ternak di seluruh pintu masuk modern maupun tradisional. “Jika ada kejadian, jangan ragu-ragu atau belas kasihan, segera lapor dan lakukan tindakan pemotongan terbatas agar tidak menyebar ke seluruh daerah,” tandas Prof Mahardika.
Tindakan lainnya yang disarankan adalah melakukan vaksinasi serentak di seluruh Bali, pengendalian lalat pada kandang ternak, dan pembrantasan caplak ternak.
Penyakit LSD pertama kali ditemukan di Afrika kemudian menyebar ke Eropa dan seluruh dunia. Di Indonesia LSD pertama kali ditemukan di Riau pada tahun 2022. Kejadian itu menyebar dengan sangat cepat ke Jawa Tengah dan seluruh wilayah Jawa. Tahun 2023 kejadian LSD mereda di Sumatera (kecuali Sumatera Selatan) tetapi meluas di Jawa, sampai Ketapang – Banyuwangi yang berjarak hanya 5 km dari Gilimanuk. Jarak 5 km ini bisa dicapai lalat kandang dalam waktu kurang dari sehari, karena lalat itu mampu terbang hingga 20 km per hari.
Kerugian ekonomi akibat penyakit LSD ini sangat besar. Laporan internasional menyebutkan, peternak India mengalami kerugian US $ 2,2 milyar. Sementara data kerugian di Indonesia belum dirilis.
Kerugian ekonomi yang luar biasa besar itu akan menghambat pencapaian tujuan mewujudkan kemakmuran peternak pada khususnya dan petani pada umumnya , dan dari sisi kinerja pemerintah, menghambat pencapaian kinerja pembangunan karena sapi yang buruk rupa akan ditawar sangat murah, bahkan tidak dibayar, dan kemakmuran peternak tidak terwujud.