Bali Hadapi Prahara Ekonomi : Renungan Hari Raya Nyepi di Tengah Paceklik Pariwisata Bali
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Paceklik pariwisata Bali sudah berlangsung satu tahun, akibat pandemi Covid-19. Ekonomi Bali tumbuh negatif tahun 2020 yakni 9,31 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang juga tumbuh negatif: 2,07 persen. Daya beli masyarakat turun tajam, karena transfer daya beli yang berasal dari para wisatawan turun tajam, hampir mendekati 100 persen.
Terjadi prahara dalam perekonomian Bali dalam satu tahun terakhir.
Terjadi prahara dalam perekonomian Bali dalam satu tahun terakhir.
Hal itu dikatakan pengamat sosial dan ekonomi Gde Sudibya, Sabtu (13/3) di Denpasar menyikapi setahun Covid-19.
Dikatakan, prahara dalam bentuknya yang sangat kongkrit. Begitu banyak orang di Bali yang kehilangan pekerjaan, menjadi pengangguran terselubung dan atau terbuka, usaha pariwisata nyaris tutup total, dengan risiko kebangkrutan usaha. Rasa percaya diri yang tergerus, ketidakpastian akan masa depan usaha, pesimisme yang mulai merambat.
Pandemi di Bali ini, lanjut dia, berdasarkan data 12 Maret 2021 telah menulari sekitar 36,742 orang, dengan jumlah yang meninggal 1,012 orang. Puncak pandemi diperkiran terjadi di triwulan pertama tahun ini, jadi sedang berlangsung.
Refleksi diri di Hari Raya Nyepi
Pengamat ekonomi kelahiran Buleleng ini mengungkapkan, tetua Bali mengajarkan ” yatna ring angga sarira, jagra, kesadaran diri dalam mengelola, ” berselancar ” dalam pasang-surutnya kehidupan. Untuk tidak terlalu gembira dan sangat senang dalam menerima kemudahan dan kelonggaran kehidupan.
Demikian juga sebaliknya, tidak terlalu bersedih, menjadi menderita dalam gelombang tekanan kehidupan. Ketenangan yang diharapkan melahirkan kejernihan berpikir, stabilitas perasaan dan kemantapan hati, dalam mengarungi ” gelombang ” ketidak-pastian kehidupan.
Dikatakan, Rwa-bhineda, kedualistikan kehidupan mengajarkan, dalam bahasa sederhananya: kalau kita pernah menikmati banyak kemudahan kehidupan, ada masanya kemudahan itu berakhir, sehingga siapkan diri secara mental untuk menghadapi masa surut ini, sehingga menjadi lebih kuat dan kokoh dalam menghadapi ” hempasan ” gelombang kehidupan.
“Dalam tradisi agraris pertanian masyarakat Bali dikenal dengan ungkapan yang kaya makna, menyebut beberapa diantaranya: ngluku dan uma duwi. Ngluku: bekerja terus tanpa henti berapapun hasilnya, atau ada atau tidak ada hasil pekerjaan harus dituntaskan.
Dikatakan, Uma duwi, simbolik makna: kerja pertanian, penuh rintangan, cobaan dan ketidak-pastian, tetapi tetap dilakoni (dengan suka cita ) untuk memperoleh hasil. Dan, hasil tidak mesti produk final yang bisa dinikmati, tetapi juga proses dari kerja berkelanjutan.
“Ethos kerja yang harus direvitalisasi , di tengah paceklik pariwisata yang sedang berlangsung, dan kita tidak lagi tahu, kapan prahara ekonomi ini akan berakhir,” kata Sudibya.
Editor : Widana
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.