Gedung parkir bertingkat di Besakih terkesan berdiri angkuh di antara bangunan suci Pura Besakih

Denpasar, (Metrobali.com)-

Akumulasi kesalahan Gubernur Bali Wayan Koster telah menumpuk, tak terperikan. Krama Bali menuntut keadilan “skala lan niskala”, umumnya dalam diam (re.ayua rumenge katantara), karena khasanah kekayaan batinnya telah terlukai.

“Dan tetap percaya dan yakin akan ungkapan dalam geguritan Parama Tatwa Suksma, “phala karma natan simpang”, “kerja hukum karma tidak akan meleset,” kata Ketua Forum Penyadaran Dharma Jro Gde Sudibya, Rabu (28/3/2023) kepada Metrobali.com.

Dikatakan, dalam tradisi tua Alas Bukit Penulisan Alam terjaga, ekspresi dari kekuatan Tuhan itu sendiri, memotivasi manusia Bali suntuk bekerja dalam kebersahajaan dan tidak mengusik kekuatan Alam. Menghasilkan peradaban, “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”.

Tetapi sayangnya dan patut disesalkan, kata Jro Gde Sudibya, Gubernur Bali Wayan Koster amat sangat menonjolkan dan membanggakan peradaban fisik kebendaan, mengabaikan sistem keyakinan spiritualisme Besakih yang “menafasi” dan “mengaliri” totalitas prilaku manusia Bali lebih dari 1.300 tahun pasca pemendeman Panca Datu oleh Rsi Markandya ring ” ambal-ambal” Besakih, Pura Basukhian sekarang.

Lebih lanjut dikatakan, bentang alam Besakih yang semestinya dijaga, dirawat kesuciannya, sekarang jadi bermasalah, karena menonjolkan bentuk luar “bebungahan” menjauh dari substansi kedalaman batin.

Menurut pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, “Krama pengempon pengarep” Besakih, yang semestinya disadarkan untuk hidup bersahaja tetapi layak, sehingga bisa “trepti” sebagai “pengempon pengayah” sebut saja “diracuni” dengan kelimpahan kebendaan dengan iming-iming “sorga”materi kebendaan, berangkat cara pikir ekonomi turistik sekuler, yang menjauhi keyakinan keniskalaan.

“Palebahan” Prajapati – Tegal Penangsaran – Setra Gandamayu – Titi Gonggang – dan sekitarnya yang “tenget” yang semestinya “tengetang”, simbol pergulatan roh manusia Bali “berjuang” untuk bisa keluar dari neraka, sehingga dalam penumadian berikutnya bisa menjadi manusia yang lebih utama (re.Prasasti tertua Bali Prasasti Sukawana), tidak sebatas “manusia kera” yang menggambarkan tidak adanya peningkatan kualitas diri, sekarang secara fisik “dihempang”, dikotori, dinodai oleh gedung jangkung bertingkat yang berfungsi komersiil, kata Jro Gde Sudibya.

Sebagai refleksi dan koreksi diri sebelum “pedek tangkil” ring piodalan Betara Turun Kabeh ring Besakih Purnama Kedasa, Sasih Kedasa Saka 1945 bagi kita umat Hindu terutama di Bali dan terutama untuk Koster dkk., geguritan Sucita-Subudi di bawah ini pantas untuk disimak, dihayati dan dilaksanakan.
“Sangkan de mangutang yatna, Undagan hideppe lingling, Da drupon manyujuh sukla, Apan tuhu lintang sulit, Apang da dadi nungkalik, Nyudya mertha wesia tepuk, Bisa ngukur kemampuan, Yan tan prasida kreseng hati, Da mamurug, Apan da dadi pangenan”.

(Adi Putra)