Jakarta, (Metrobali.com)-

Koordinator Staf Khusus Presiden RI AAGN Ari Dwipayana menilai hari ini, pemimpin tersebar di masyarakat, dalam berbagai komunitas, tidak lagi terkonsetrasi hanya pada tingkatan negara. Oleh karena itu, diharapkan para pemimpin komunitas tidak terburu-buru untuk memasuki politik praktis dengan menduduki jabatan politik-publik, karena umat dan komunitas di akar rumput juga perlu dijaga. Selain itu, pemimpin komunitas juga perlu menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan.

Hal itu disampaikan Ari saat menjadi salah satu narasumber di acara bertajuk “Merayakan Indonesia : Suara Kultural untuk Pemimpin Nasional 2024” yang diselenggarakan oleh Forum Titik Temu di Jakarta, Sabtu (26/8/2023). Turut hadir dalam acara tersebut, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ibu Omi Komariah Madjid, Direktur Pusat Studi Al-quran Prof. Quraish Shihab, Dewan Pembina Nurcholis Majid Society Yudi Latif, Ketum PGLII Pdt. Ronny Mandang, Ketua Sinode Gereja Bethel Indonesia Pdt. Rubin Adi Abraham, dan Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia Bhikku Jayamedho.

Menurut Ari, saat ini Indonesia berada dalam perubahan struktur kekuasaan. Sebelumnya, semua kekuasaan itu dikendalikan oleh pemimpin-pemimpin formal di tingkat negara. Akan tetapi, saat ini pemimpin sudah di mana-mana, kekuasaan ada di komunitas, baik itu komunitas bisnis, agama, budaya, dan juga berbagai kelompok masyarakat.

“Masalah kita itu, tidak semua orang mau menjadi pemimpin-pemimpin di komunitas, semua terserap menjadi pemimpin formal, menjadi pemimpin negara, menganggap semua pemimpin negara itu adalah satu-satunya yang akan mengubah kita semua. Itu lah sebabnya saya gembira sekali ketika Gus Dur menyebut betapa pentingnya kyai kampung, pentingnya menjadi penjaga gawang umat” tutur Ari.

“Maka dari itu bapak ibu sekalian sebagai pemimpin-pemimpin komunitas, jangan cepat-cepat masuk ke dalam kepemimpinan formal. Bapak ibu sekalian adalah pemimpin-pemimpin umat, pemimpin komunitas yang umatnya-komunitasnya juga perlu dijaga, seperti yang dijaga. Seperti yang dilakukan oleh Gus Dur, dijaga oleh Nurcholis Majid, dan juga dijaga oleh Buya Syafii Maarif. Beliau-beliau adalah penjaga-penjaga umat dan penjaga komunitas kita.Beliau-beliau juga menyiapkan pemimpin pemimpin berikutnya. Oleh karena itu, menyiapkan pemimpin komunitas-komunitas yang tangguh adalah agenda utama yang harus dilakukan oleh kita semua hari ini,” ujar Ari.

Masalah lain yang dihadapi oleh bangsa Indonesia terkait politik etik. Dimana hari ini menurut Ari yang menjadi permasalahan utama adalah soal integritas, yaitu konsistensi antara kata dan perbuatan. Menurut Ari, di Indonesia sudah terlalu banyak kata-kata, namun demikian yang diperlukan adalah kesatuan antara kata dengan perbuatan. Ari menyitir WS Rendra bahwa perjuangan kita itu adalah mewujudkan kata-kata menjadi perbuatan. Ari mengingatkan, kata-kata kerap membuat terlena, bahkan banyak pemimpin agama yang terpeleset karena kata-kata.

“Hari-hari ini kita mengalami permasalahan polusi udara, udara di Jakarta hari ini membahayakan kesehatan kita. Akan tetapi, yang lebih membahayakan di tahun politik adalah polusi kata-kata, karena akan banyak sekali kata-kata yang akan kita terima, kita dengar, ada yang bentuk dalam janji-janji, rayuan, dalam bentuk visi-misi, program-program itu semu kata-kata,” ujar Ari.

Terakhir, Ari mengatakan, masalah lain di Indonesia adalah pemimpin yang merupakan wajah dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat Indonesia dianggap terlalu lama berada dalam perangkap budaya feodalisme, lebih suka menjadi kawula (abdi) bukan menjadi citizen atau warga negara yang baik. Oleh karena itu, rakyat mudah digiring ke sana ke mari setiap 5 tahun.

“Mari jadilah warga negara yang baik, yang aktif, sehingga kita bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik, dan setelah pemimpin itu terpilih kita bisa kontrol ramai-ramai,” tutur Ari. (RED-MB)