Denpasar, (Metrobali.com)

Banyak pengamat memperkirakan, tahun depan ekonomi dunia tidaklah menggembirakan, risiko terjadinya resesi ekonomi, krisis pangan dan juga energi yang berelasi timbal balik dengan krisis ekonomi. Tidak kurang dari Menteri Keuangan dan juga Gubernur BI sebagai pejabat otoritas moneter mengingatkan akan risiko ketidakpastian ekonomi tahun depan.
Ekonomi dunia sedang mengalami fenomena anomali , stagflasi, sumbatan produksi berbarengan dengan naiknya inflasi. Lazimnya, dalam keadaan normal sumbatan produksi menekan permintaan, sehingga menekan harga sehingga inflasi tidak terjadi. Yang terjadi sumbatan produksi berbarengan dengan kenaikan harga. Kenapa anomali ekonomi ini bisa terjadi?.

Hampir semua negara, di masa pandemi, kurang lebih 2.5 tahun, mengalami defisit anggaran yang besar untuk menekan krisis ekonomi akibat pandemi, terjadi permintaan luar biasa akibat defisit ini di seluruh dunia, pertambahan permintaan tidak diikuti oleh pasokan produksi yang seimbang, terjadi inflasi tinggi di mana-mana menyebut beberapa: Jepang, Eropa dan juga AS.

Anomali kedua, fenomena reflasi, suku banga naik berkejaran dengan naiknya inflasi. Padahal dalam keadaan normal, naiknya suku bunga acuan oleh Bank Sentral di setiap negara, akan diikuti oleh kenaikan suku bunga di industri perbankan, yang pada akhirnya mengurangi permintaan di pasar, dan akhirnya menekan inflasi.

Anomali ekonomi ini, sudah diperkirakan oleh para ekonom yang membela “mazhab” keadilan ekonomi, yang berpendapat pada tingkat ketidakadilan ekonomi tertentu, akan terjadi anomali ekonomi dengan krisis ekonomi berkepanjangan di banyak negara. Hipotesisnya, semakin senjang ketidakadilan ekonomi satu negara, semakin tinggi risiko krisis ekonominya dan rentang waktunya.

Menurut mereka, harga yang harus dibayar dari sistem politik liberal dengan mekanisme pasar bebasnya.

Sayangnya isu besar ini, ketidakadilan ekonomi berkorelasi nyata dengan krisis ekonomi, tidak menjadi agenda pokok dalam KTT G20, sehingga Deklarasi Bali tidak memuat isu yang begitu penting ini. Sekaligus membuktikan arus utama pemikiran dan kebijakan di anggota G20, ketidak merataan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi adalah sesuatu yang “biasa” terjadi, upaya penanggulangannya diserahkan ke masing-masing negara.
Tantangan untuk Bali.

Karena krisis ekonomi pada akhirnya melekat dengan ketidakadilan ekonomi pada tingkatan tertentu, tantangan buat pengambil kebijakan di Bali, al.:

Pertama, kebijakan fiscal daerah, lebih fokus ke upaya penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja produktif bagi “wong cilik”: buruh, tani, nelayan dan bagian masyarakat pinggiran lainnya.
Upaya penanggulan kemiskinan tidak lagi sebatas menggunakan pendekatan angka statistik, tetapi dengan menggunakan pendekatan wajah, sehingga Gubernur, Bupati, Wali Kota mengenal wajah-wajah mereka yang miskin, dimana Dadia, Banjar dan Desa mereka tinggal. Pendekatan empati dalam membasmi kemiskinan.

Kedua, memetakan dengan sangat baik faktor pengungkit dari bertumbuhnya ekonomi kerakyatan, sehingga mampu menyiapkan strategi kebijakan yang tepat bagi pertumbuhan ekonomi rakyat yang berkeadilan. Target sasarannya jelas: lembaga keuangan mikro ( LPD, Koperasi, BPR), pedagang, memperbaiki posisi tawar petani dengan tengkulak. Ketiga, karena petani adalah masyarakat yang paling terpinggirkan, NTP Petani Bali data terakhir 96, berarti secara umum petani merugi dalam usaha taninya, diperlukan upaya serius untuk mengangkat harkat dan martabat petani, mulai anggaran pertanian yang lebih berkeadilan, subsidi hasil produksi, bantuan pemasaran dengan pendekatan kelembagaan dalam dimensi jangka panjang.

Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebudayaan.