Washington, (Metrobali.com) –

Satu tim peneliti internasional yang mempelajari migrasi angsa kepala bergaris di Pegunungan Himalaya pada Kamis (15/1) mengungkapkan hewan itu “merangkul” medan saat mereka terbang, naik ke puncak dan menuruni lembah seperti “roller coaster”.

Pola penerbangan yang tak terduga itu, yang dijelaskan di dalam jurnal AS “Science”, mungkin membantu angsa itu menghemat energi dibandingkan dengan kalau mereka terbang secara tetap pada ketinggian lebih dari 7.000 meter.

Studi tersebut, termasuk peneliti dari Inggris, Mongolia, Kanada, Australia, Jerman dan Amerika Serikat, memasang alat pada angsa itu untuk memantau denyut jantung mereka, temperatur perut dan tekanan serta gerakan tubuh selama migrasi mereka ke arah selatan dari lahan berkembang biak di Mongolia ke lahan musim dingin di bagian tenggara Tibet, Tiongkok dan India.

Sebelumnya, pendapat umum yang beredar ialah angsa tersebut akan terbang tinggi untuk relatif bisa menghadapi kemudahan dan tetap berada pada ketinggian itu selama penerbangan mereka, dan diduga memanfaatkan angin buritan.

Sebaliknya, studi baru tersebut memperlihatkan angsa itu cenderung untuk terbang paling dekat ke tanah ketika melewati pegunungan, kendati itu berarti berulangkali mereka harus menghindari ketinggai –yang sulit dicapai– hanya untuk memperoleh ketinggian lagi nantinya dalam penerbangan yang sama, kata Xinhua –yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat pagi.

Hewan tersebut menggunakan strategi “roller coaster” itu sebab mengurangi kepadatan udara pada posisi yang lebih tinggi mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan pengungkit dan dorongan yang diperlukan untuk mempertahankan penerbangan itu, kata tim tersebut.

Seringnya hempasan angin meningkat pada posisi yang lebih tinggi saat angsa kepala bergaris berjuang untuk bergerak melewati udara yang lebih tipis, kata studi tersebut.

Peningkatan hembusan angin kemudian akan mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan perkiraan kekuatan metabolis. Kondisi itu menunjukkan bahwa ketinggian akan membuat unggas tersebut menguras lebih banyak energi untuk mempertahankan penerbangan horizontal di tempat tinggi, katanya.

Tim itu juga terkejut saat mendapati bahwa, kadang-kala, angsa kepala bergaris terbang dalam udara yang naik ke atas yang diciptakan oleh pegunungan.

“Ini memberi mereka peluang terbaik untuk mendapat bantuan dari angin –yang terdorong ke atas oleh daratan (yang dikenal dengan naman ungkitan orografis). Jadi, kondisi itu memberi pendakian tambahan dengan pengurangan pengeluaran energi mereka atau setidaknya tak perlu penambahan energi,” kata penulis bersama studi tersebut, Pat Butler, Profesor di University of Birmingham, di dalam satu pernyataan.

Meskipun studi terdahulu memperlihatkan unggas itu mungkin mampu terbang pada ketinggian di atas 7.000 meter, 98 persen pengamatan baru tersebut memperlihatkan mereka terbang di bawah 6.000 meter.

Secara keseluruhan, lebih hemat buat unggas itu untuk terbang rendah dan kehilangan lalu memperoleh kembali ketinggiannya, kata tim tersebut.

(Ant) –