Jakarta, (Metrobali.com)-

Ancaman dari pemerintah China terhadap negara-negara yang melakukan negosiasi Tarif dengan AS, diperkirakan membuat ekonomi global semakin volatile. Semakin rentan dan mudah “pecah”, yang memicu krisis ekonomi global yang membesar.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Selasa 22 April 2025 menanggapi krisis ekonomi dunia.

Dikatakan, ekonomi AS yang besar, yang selama ini menjadi lokomotif ekonomi dunia, sudah tidak bisa dianggap enteng. Ekonomi China yang terus membesar, dengan cadangan devisa yang sangat besar, diinvestasikan dalam proyek ambisius mendunia, BRI (Bridge Road Initiatives), dengan nilai triliuanan dolar AS.

Menurutnya, pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pusat logistik, yang membentang dari Beijing sampai London, yang berjarak ribuan kilometer, melintasi puluhan negara, sebuah kekuatan ekonomi yang tidak bisa dianggap enteng.

“Bak kata pepatah, “gajah bertarung, pelanduk terinjak-injak yang menjadi korbannya”,” kata Jro Gde Sudibya kepada metro Bali.com.

Dikatakan, Perang Tarif, dan Perang Dagang ini, dikhawatirkan membuat ekonomi dunia, punya risiko mengarah ke depresi ekonomi tahun 1930’an, depresi ekonomi, great depresion.

“Di Indonesia disebut sebagai zaman super susah, masa malaise, yang disebutkan dengan zaman “meleset”, karena susahnya keadaan,” kata Jro Gde Sudibya.

Menurutnya, Pemerintahan Prabowo, semestinya tidak menganggap enteng (under estimate) kondisi ekonomi global yang bisa dengan cepat memburuk, di tengah realitas “keras” ekonomi nasional yang memprihatinkan dan bahkan punya potensi menakutkan.

Dikatakan, Kondisi fiscal yang mengalami “pendarahan”, dengan defisit bisa mencapai Rp.800 T – Rp.1,000 T tahun ini. Terus turunnya IHSG di bursa efek Jakarta, sedangkan di bursa efek di banyak kota Asia cendrung stabil, gambaran dari terus menurunnya kepercayaan pelaku pasar uang dan modal global terhadap Indonesia.

Menurut Sudibya, “Hantu” PHK yang jumlahnya puluhan ribu tenaga kerja, di tengah merosotnya daya beli kelompok kelas menengah dan bawah.

Dikatakan, Keraguan pelaku usaha lokal untuk menginvestasikan dananya di sektor riil, dengan membubung tingginya harga emas, yang telah melewati harga Rp.2 juta per gram.

Menurutnya, kontradiksi dan ironi, di tengah tingginya PHK dan angka pengangguran, investasi lokal tidak terjadi, “direct foreign investment” semakin sulit terjadi.

Padahal investasi swasta, kata Jro Gde Sudibya, semestinya menjadi “dewa” penyelamat bagi ekonomi yang sedang kocar-kacir.

“Yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, terutama para pelaku usaha, ekonomi yang terus tertekan, bisa bersinggungan dengan krisis politik, yang semakin sulit untuk dikelola. Pengalaman sejarah tahun 1966 dan 1999, telah mencatatnya,” kata Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan