Denpasar (Metrobali.com)-

Bali telah dikenal sebagai pulau Dewata, mempunyai keramah tamahan budaya serta karya seni patung dan terkenal diberbagai belahan dunia. Jaringan Bantuan Satwa Jakarta atau yang dikenal juga dengan Jakarta Animal Aid Network ( JAAN ), telah mengamati berbagai perkembangan yang terjadi pada jenis satwa mamalia laut Lumba – lumba di Indonesia khususnya di pulau Bali.

”Perkembangan yang terjadi di Bali saat ini banyak terjadi eksploitasi terhadap salah satu jenis satwa mamalia laut yang pintar ini. Ini dibuktikan dengan masih adanya tempat eksploitasi Lumba-lumba di Pulau Serangan, Melka Hotel di Singaraja, dan Dolphin Bay/ Akame Restaurant di pelabuhan Benoa,” kata Pramudya, pimpinan dari JAAN, kepada Metro Bali di Depan Kantor Gubernur Nali, Renon, Jumat (7/12).

Dikatakan, dalam berbagai tempat tersebut satwa yang dilindungi ini (UU. No 5 Thn. 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ) ditempatkan di kolam berukuran kecil dan sempit, sehingga mereka tidak dapat leluasa untuk berenang dan bergerak mengekspresikan perilaku alaminya atau bahkan stress berat ng dapat mengakibatkan kematian.

Lumba-lumba yang hidup di laut lepas dapat bergerak dengan cepat dan jarak tempuh yang jauh, sedangkan di kolam mereka hanya berputar putar. Sonar suara yang dihasilkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya memiliki jarak jangkauan yang jauh,dan ketika di kolam, sonar ini akan memantul kembali sehingga bisa merusak sistem pendengaran dan bisa berakibat fatal pada keselamatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa yang ada.

Dalam hal ini,Bali sebagai ikon wisata dan tempat tujuan wisata, sudah seharusnya mulai berbenah agar juga bisa menjadi ikon wisata yang bebas dari eksploitasi terhadap satwa liar dilindungi. “ Caranya dengan tidak memberikan ijin kepada pihak-pihak yang melakukan suatu kegiatan eksploitasi satwa seperti sirkus dan pertunjukan ketangkasan berkedok edukasi yang pada kenyataannya menyimpan banyak cerita berbagai kekejaman dibaliknya,”  ujar Pramudya seraya menambahkan  sebenarnya semua itu hanyalah sebuah bisnis belaka yang berkedok konservasi.

Banyak hal positif yang akan diraih jika Bali memberlakukan dan menerapkan hal ini, yang pada nantinya juga dapat berimbas pada citra yang lebih baik lagi bagi Bali dimata nasional maupun didunia internasional. “ Itu nantinya juga akan membuktikan bahwa pemerintah  tidak hanya sekedar mementingkan aspek bisnis saja dalam dunia industri pariwisata, namun juga memperhatikan aspek konservasi yang tentunya juga harus dilakukan dengan edukasi dan penerapan yang benar,” kata Amang, kordinator aksi.

Penolakan segala kegiatan dan eksploitasi terhadap Lumba-lumba ini, JAAN yang mendapatkan dukungan dari Animal Friends Jogja ( AFJ ), Dive Mag Indonesia, Earth Island Institute serta beberapa publik figur seperti Riyanni Jangkaru, Melanie Soebono, Coki Netral dan juga menggalang dukungan kepada semua lapisan masyarakat nasional dan dunia internasional untuk bergabung mengisi petisi tentang penolakan terhadap pertunjukan ketangkasan dan sirkus yang melibatkan satwa Lumba-lumba lewat www.Change,org  yang berhasil mendapatkan 90,000 lebih tanda tangan. “ Ini juga salah satu upaya untuk meng hentikan pertunjukan sirkus Lumba-lumba keliling yang terakhir di dunia. Indonesia adalah satu-satunya negara yang masih membiarkan kegiatan ini berlangsung,” ujar Ina dari AFJ.

JAAN mengapresiasikan kampanye ini dengan mengangkat sebuah kesenian patung dalam budaya Bali yaitu Ogoh-ogoh yang berbentuk sepasang Lumba-lumba dan salah satunya dalam keadaan terborgol rantai. Dalam hal ini  sebagai lambang dari kesadaran manusia akan kekuatan alam semesta yang dahsyat, kekuatan antara alam raya dan diri manusia. Hal ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kehancuran atau kebahagiaan. Karena semua ini bergantung pada niat luhur manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia. BOB-MB