jaan

Gianyar (Metrobali.com)-

Aktivis perlindungan satwa liar JAAN (Jakarta Animal Aid Network) dan Animal Shanti membuat aksi damai di depan pintu masuk kolam atraksi sirkus lumba-lumba saat malam pembukaan di Wake Resort, Pantai Keramas, Gianyar, Bali pada sabtu malam 9 Agustus 2014. Di dalam WAKE Resort terdapat kolam berukuran 10 x 20 meter terdapat 4 ekor lumba-lumba yang dipelihara untuk pertunjukan. Sangat sempit bagi lumba-lumba bisa menjelajah hingga ratusan kilometer per hari di habitatnya, laut lepas.

Aksi pembentangan spanduk yang rencananya akan dilakukan pada pukul 6 sore saat dimulainya acara pembukaan sirkus lumba-lumba namun dengan penjagaan yang sangat ketat, dengan banyaknya petugas kemanan dari pihak pengelola sirkus lumba-lumba, para aktivis menunda aksinya hingga malam karena alas an keselamatan para aktivis.

Jumlah tim JAAN dan Animal Shanti hanya tujuh orang akhirnya bersepakat untuk tetap melakukan aksi singkat dengan membawa poster penolakan sirkus lumba-lumba sekitar pukul 9 malam. Para aktivis menuju gerbang dengan membawa beberapa poster menolak. Sayangnya aksi damai itu menyulut kemarahan para sekuriti dan orang-orang yang diduga preman bayaran PT. Wersut Seguni Indonesia (WSI), pengelola sirkus lumba-lumba keliling terbesar di Jawa yang berada di balik wahana pertunjukan lumba-lumba WAKE Resort.

Mereka diteriaki dan dikejar segerombolan orang-orang tersebut. Sebagian tim selamat dengan berlari menyusuri pantai dan bersembunyi di semak-semak. 2 orang tertinggal di belakang dan menjadi sasaran. Seorang dari aktivis ditarik dan diseret ke daerah gelap. Seorang lagi diseret ke laut dengan ancaman akan ditenggelamkan. Kedua aktivis perempuan ini yang salah satunya adalah Femke den Haas kordinator perlindungan satwa liar dari JAAN berjuang melindungi diri orang-orang yang diduga preman bayaran sampai polisi datang dan menyelamatkan dua aktivis itu dengan dibawa ke Polsek Blahbatuh untuk diamankan dari amuk masa. Para preman mengikuti mereka hingga ke kantor polisi, dan masih menyerukan ancaman pada dua perempuan ini. Mereka berada di sana sampai pukul 2 pagi, menunggu suasana mereda. Setelah keadaan dirasa aman mereka pulang dengan kondisi memar dan lebam. Diiringi mobil polisi mereka diantar pulang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan.

Selain itu, izin AMDAL (Analisis Masalah Dampak Lingkungan) yg dimiliki Wake Resort hanyalah untuk resort dan tidak termasuk kolam lumba-lumba.

Sebelumnya pada bulan Februari 2013, Bali pernah dihebohkan dengan kasus restoran Akame, Pelabuhan Benoa, Denpasar hingga Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan turun tangan untuk menyita dua ekor lumba-lumba untuk dikembalikan ke habitatnya di laut Karimun Jawa. Namun, pernyataan dari menteri tersebut tidak pernah terjadi bahkan lumba-lumba tersebut kembali ke penangkaran sirkus lumba-lumba di Weleri, Kendal, Jawa Tengah. Saat itu lumba-lumba dipelihara dalam kolam sebagai pertunjukan bagi pengunjung. Protes yang bermunculan dari berbagai pihak, termasuk dari Ric O’barry, aktivis lumba-lumba internasional, hingga mampu membuat penangkaran lumba-lumba ini ditutup meskipun lumba-lumba itu belum berhasil di kembalikan ke laut lepas. Aksi protes besar-besaran yang terjadi saat itu tampaknya belum membuat para pengusaha penangkaran dan sirkus lumba-lumba jera.

Berbagai hal buruk yang terjadi pada mamalia laut terpintar itu selama dalam penangkaran sirkus lumba-lumba. Lumba-lumba dieksploitasi sebagai objek komersial dengan kedok edukasi dan konservasi.

Beberapa bentuk eksploitasi lumba-lumba : 

1.    Lumba-lumba diperlakukan sebagai properti untuk dipertontonkan

2.    Lumba-lumba yang biasa berkomunikasi dengan kawanannya di laut dengan suara sonar dapat terganggu dan rusak akibat suara musik yang keras saat sirkus. Selain itu kolam yang kecil mengakibatkan sonar lumba-lumba yang bisa menjelajah hingga ratusan mil di dalam laut, terbentur dinding kolam hingga membuat stress lumba-lumba dan bisa berakibat kematian.

3.    Penangkaran lumba-lumba tidak disertai dengan edukasi yang sesuai dengan faktanya yaitu lumba-lumba hidup dan bebas di laut lepas.

4.    Pengusaha yang bergerak dalam industri lumba-lumba keliling menggadang-gadang nama konservasi untuk keuntungan mereka, kendati sebenarnya konservasi tidak pernah ada. Lumba-lumba dalam penangkaran adalah lumba-lumba yang ditangkap dalam alam liar dan sampai saat ini belum ada lembaga konservasi di Indonesia yang mampu mengembangbiakan lumba-lumba dalam penangkaran. Kalaupun ada lumba-lumba yang lahir di kolam itu diduga karena lumba-lumba itu hamil saat ditangkap.

5.    Lumba-lumba dipukul dan buat lapar agar mengikuti perintah pelatih untuk melakukan atraksi.

6.    Lumba-lumba diberi makan ikan-ikan mati yang dipotong kecil dan tidak segar, padahal di alam liar mereka biasa makan ikan laut yang masih hidup.

7.    Bentuk kolam memiliki banyak kekurangan. Kedalaman air yang kurang menyebabkan suhu air mudah berubah panas, memberi efek pada lumba-lumba yang tinggal di dalamnya. Air yang digunakan bukanlah air laut, namun air tawar yang dicampur degan garam dan klorin. Klorin sendiri membawa dampak buruk bagi lumba-lumba, mulai dari iritasi kulit hingga iritasi mata yang bisa berakhir pada kebutaan.

Beberapa poin-poin diatas sangat bertentangan dengan prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare). Untuk itu JAAN dan Animal Shanti dengan tegas menyatakan menolak adanya penangkaran sirkus lumba-lumba di Wake Resort, Keramas, Bali. Kami juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam menolak penangkaran sirkus lumba-lumba.

Salah satu cara yang mudah bagi masyarakat untuk ikut menolak bentuk eksploitasi pada sirkus lumba-lumba adalah dengan tidak menonton sirkus itu sendiri. Cara yang terbaik untuk melihat dan menyaksikan lumba-lumba adalah dengan mendatangi habitat mereka salah satunya yang terdapat di Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Dengan membayar Rp 60,000,- saja kita bisa diajak nelayan setempat menaiki perahu kemudian melihat lumba-lumba bermain di laut lepas.  RED-MB