Oleh: I Gde Sudibya

” Means justifiying the goal “.
Cara mesti semulya tujuan.
Mahatma Gandhi.

Masyarakat menyimak perdebatan tentang proses kelahiran UU Cipta Kerja dalam enam bulan terakhir ini. Kurun waktu yang nyaris bersamaan dengan sorotan publik terhadap revisi sejumlah UU: UU KPK, UU Minerba dan UU MK.
Berdasarkan pengamatan terhadap proses Pemilu dan Pilpres tahun lalu 2019, yang sarat dengan perbedaan:  pendapat, kepentingan dan bahkan melahirkan dikotomi dan polarisasi dalam masyarakat.  Pro dan kontra terhadap UU Cipta Kerja memiliki kemiripan dalam masyarakat meresponsnya.
Perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan dalam sistem demokrasi konstitusional adalah syah, wajar dan manusiawi dalam koridor konstitusi, etika dalam berpolitik, kepantasan, kepatutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan Pancasila sebagai dasar dan batu penjurunya.
Masalah dan tantangannya, di Era Post Truth ( era kebohongan ), era yang juga disebut sebagai berakhirnya kepakaran ( the end oh expertise ), terjadinya demokratisasi pemikiran dashyat yang diwadahi media sosial, melahirkan tidak saja fenomena, tetapi realitas riil konten komunikasi yang sarat kebohongan, hoax, ujaran kebencian, disinformasi, analisa yang merupakan bauran: fakta,  opini, kebohongan, ujaran kekerasan simbolik, ujaran kebencian, rasa marah dan dendam. Politik yang menghalalkan segala cara ( machiavellen ) untuk kepentingan politik jangka pendek ( political quick yielding ), tidak peduli dan masa bodo ( ignorance ) terhadap kepentingan umum, sebagaimana digariskan tersurat dan tersirat dalam konstitusi. Politik ” bumi hangus ” untuk kepentingan sendiri, kelompok kepentingan sendiri yang tuna empati terhadap kepentingan umum.

Akal Sehat Dalam Berpolitik

Akal sehat ( commense sense ) dalam berpolitik berbasis pengetahuan tentang konstitusi ( sejarah, proses dan spiritnya), spirit dalam gerakan reformasi yang mencapai puncaknya tahun 1998, dapat melahirkan pertanyaan kritis kontemplatif seperti di bawah ini.

1. KPK merupakan “master piece” dari gerakan reformasi, berangkat dari diktum: kejahatan luar biasa memerlukan cara luar biasa untuk menanganinya. Timbul pertanyaan, dalam tekanan dashyat korupsi dewasa ini, apakah sudah waktunya KPK diturunkan derajadnya dari lembaga super bodi yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat luas?

2. Dalam pembahasan UU Cipta Kerja, yang cendrung tertutup, nyaris menafikan suara publik dan para pakar: hukum tata negara, hukum pertanahan/agraria dan hukum lingkungan hidup, yang merepresentasi kepentingan publik tentang risiko penguasaan tanah negara, ketimpangan penguasaan tanah yang akan semakin timpang, yang selama ini sudah sangat timpang, pelonggaran pengelolaan lingkungan hidup, di tengah proses kerusakan lingkungan yang massif,  dan proses pengesahannya dinilai oleh berbagai pihak dinilai cacat prosedur, menimbulkan pertanyaan: apakah dialog untuk isu sepenting dan segenting ini, dalam rangka koreksi  perlu ditutup?

3. Pemerintah dalam banyak kesempatan menyampaikan ke publik, dengan terbitnya UU ini, investasi luar negeri terutama dari China akan mengalir deras, sehingga banyak kesempatan kerja akan tercipta. Pada sisi yang lain, ekonom Faisal Basri dalam sebuah acara TV, berbasis data BPS mengungkapkan, selama lima tahun terakhir, tidak ada persoalan dengan investasi di Indonesia dengan indikator rasio investasi terhadap PDB, yang menurut ekonom ini, tertinggi di Asean.

Bahkan dinyatakan pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dari India, Vietnam. Hanya saja ICOR ( Incremental Capital Out put Rasio ) yang tinggi, disebutkan kalau tidak salah 6.8., akibat korupsi dan kurang  terencananya proyek pembangunan.
Penjelasan: ICOR 6.8 berarti: untuk menghasilkan out put Rp.1 diperlukan modal investasi Rp.6.8.
Sedangkan dari para ekonom kita mengetahui, perencanaan proyek yang kurang matang, sudah tentu akan sulit memperkirakan berapa kesempatan kerja akan tercipta dari setiap satuan investasi. Besaran dari apa yang disebut para ekonom sebagai NE, employment elasticity, elastisitas kesempatan kerja.

Isu ini, investasi dan kesempatan kerja pantas diklarifikasi secara rinci berbasis data dan pendekatan keilmuan yang kredibel oleh anggota kabinet yang punya kompetensi untuk isu ini dan kredibilitasnya tinggi di mata publik.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik. Di depan Taman Bung Karno, Sukasada, Singaraja. Tanggal 1 Juni 2020, memperingati 75 tahun lahirnya Pancasila.