haryadi

Jakarta (Metrobali.com)-

Dosen Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Haryadi berpendapat veifikasi penghitungan suara hasil pemilihan presiden secara nasional yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan segera berakhir, namun KPU diuji dengan adanya penolakan hasil rekapitulasi suara.

“Hampir pasti pula pasangan Jokowi-JK menjadi pemenangnya. Tapi, hampir pasti saksi dari Prabowo-akan menandatangani dengan sederet catatan atau tak akan mau menandatangani hasil akhir penghitungan di KPU,” kata Haryadi, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (21/7).

Menurut dia, penolakan hasil rekapitulasi KPU memang tidak dilarang di undang-undang (UU), tetapi hal tersebut diyakini tidak akan mempengaruhi keabsahan hasil yang akan ditetapkan KPU nantinya.

Haryadi menilai, akan ada tindakan dari pasangan capres-cawapres no urut 1 jika tidak menang. Yang pasti, saksi akan menolak menandatangani hasil.

“Jika itu yang terjadi, pertanda kemungkinan kubu Prabowo-Hatta akan menggugat KPU ke MK atau sekadar melakukan ‘bargaining position’ kepada pasangan Jokowi-JK yang menang agar diberi jatah keikutsertaan mengelola kekuasaan,” jelas Haryadi.

Menurut dia, apa pun skenario tim yang kalah memang akan sedikit merepotkan KPU. Apapun juga lembaga dan masing-masing komisioner KPU, lewat gugatan ke MK, juga akan menghadapi cobaan tak sekadar berbasis argumen hukum, tapi berbasis “material” dari pihak penggugatnya.

Haryadi mengungkapkan di sinilah integritas KPU dicoba. “Cobaan yang tak kalah beratnya bagi KPU adalah menghadapi ancaman fisik yang bersifat laten maupun manifes, terskenario maupun tak terskenario,” ucapnya.

Namun, atas ujian itu dirinya percaya KPU lebih berkepentingan untuk kukuh mempertahankan integritas kelembagaan dan personalnya. AN-MB