Board 70 x 100cm-page-001

Denpasar, (Metrobali.com) –

Memasuki tahun kedelapan, Denpasar Film Festival (DFF) hadir dengan tema “Air, Perempuan, dan Anak-anak”. Ini adalah bentuk kepedulian dari festival ini terhadap ancaman krisis air di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Bali, yang jika tidak ada langkah mitigasi akan menjadi nyata dan sulit untuk ditangani.

 

“Dan, kami melihat, di saat krisis air terjadi yang mula-mula paling menderita adalah para perempuan dan anak-anak. Itulah sebabnya kamu mengangkatnya sebagai tema pada tahun ini,” papar Dodek Febriyantow Sukahet, Manager Festival DFF 2017.

 

Menurut Dodek, seperti tahun-tahun sebelumnya, program-program dalam festival film besutan Yayasan Bali Gumanti yang didukung Dinas Kebudayaan Kota Denpasar tersebut menyakup  pelatihan, pemutaran film, pendampingan produksi,  pameran, diskusi, lomba, dan malam penganugerahan.

 

“Konsisten dengan penyelenggaraan sebelumnya, inti dari program-program DFF adalah edukasi, apresiasi, dan kompetisi. Dan setiap tahun seluruh mata acara ditingkatkan kualitasnya baik dalam penyelenggaraan maupun kontennya,” papar  Dodek.

 

Tahun ini, rangkaian program tersebut diawali dengan Kemah Pelatihan Produksi Film Dokumenter yang diselenggarakan pada7-11 Maret dengan instruktur utama Panji Wibowo. Panji Wibowo adalah sutradara film dokumenter yang juga dosen di Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Panji telah menerbitkan modul pelatihan produksi film yang terhitung sangat minim di Indonesia. Adapun pelatihan diselenggarakan di tepian Danau Buyan, Buleleng. Paparan Panji akan diperkuat oleh instruktur lain yang merupakan praktisi-praktisi yang mumpuni seperti Rio Helmi, I Wayan Juniartha, Anton Muhajir, Totok Parwatha.

 

Peserta pelatihan adalah para pelajar SMP dan SMA di Kota Denpasar yang dipilih melalui seleksi. Keduanya mendapat jatah masing-masing lima kelompok. Jadi akan ada lima kelompok untuk SMP dan lima kelompok untuk SMA sehingga total peserta maskimal hanya 20-30 orang saja.

 

Dalam perkemahan, selain teori peserta juga dituntun untuk melakukan praktek lapangan tahap demi tahap. Pada akhir pelatihan semua kelompok peserta diwajibkan menyerahkan karya dokumenter berdurasi dua hingga empat menit yang mereka buat selama pelatihan. Di sela-sela kegiatan, setiap waktu senggang diisi pemutaran film dan diskusi. Juga ada materi pengayaan yang diberikan oleh para aktivis seperti  Olin Monteiro  (Aktivis Perempuan, Jakarta), Iwan Dewantama (Aktivis Lingkungan, Denpasar).

 

“Dengan demikian pengetahuan yang mereka dapat lebih menyeluruh. Tidak hanya soal teknis dan artistik, tetapi juga wawasan lain berkait dengan kehidupan dan lingkungan,” imbuh Dodek.

 

Seusai pelatihan, para peserta diwajibkan untuk membuat produksi film dokumenter tentang Kota Denpasar sebagaimana yang mereka ajukan pada saat seleksi awal. Untuk produksi tersebut masing-masing kelompok mendapat dana stimulant dalam jumlah tertentu. Dengan demikian, dari para peserta tersebut akan lahir sepuluh film dokumenter tentang kekayaan pusaka budaya di Kota Denpasar.

 

Program lain adalah Lomba Film Dokumenter, Lomba Resensi Film Dokumenter, Putar dan Diskusi Film Unggulan,  Pameran Foto “Project 88”,  dan Malam Penganugerahan.  Lomba Film Dokumenter diselenggarakan antara 1 Maret-30 Juni 2017 melibatkan para pembuat film dokumenter di seluruh Tanah Air. Lomba Resensi Film Dokumenter  diselenggarakan pada kurun 1 Maret- 31 Juli 2017 melibatkan para publik umum di seluruh Bali.

 

Adapun program pemutaran, diskusi, dan pameran foto esai berlangsung pada awal bulan September 2017. Di mana seluruh rangkaian acara itu ditutup dengan acara puncak yakni “Malam Penganugerahan” yang akan digelar pada 10 September 2017.

 

Hadiah Total 75 Juta

Hadiah total seluruh lomba dalam DFF tak kurang dari Rp75 juta. Pada Lomba Film Dokumenter terdapat dua kategori utama yakni umum dan pelajar. Keduanya menyakup peserta di seluruh Indonesia. Peserta kedua kategori dapat mengirimkan karya dokumenter dengan tema bebas. Untuk kategori umum durasi karya antara 20 menit hingga 40 menit. Sedangkan untuk pelajar durasi karya berkisar antara lima hingga sepuluh menit.

 

Setiap karya yang masuk diseleksi melalui dua tahap. Pertama, karya diseleksi oleh Dewan Kurator yang terdiri dari tiga pekerja film dokumenter kredibel. Mereka memilih masing-masing lima karya unggulan di setiap kategori. Selanjutnya, pada tahap kedua, karya-karya yang lolos seleksi Dewan Kurator tersebut diseleksi kembali oleh Dewan Juri untuk menentukan lima karya terbaik. Satu di antara  lima film unggulan kategori umum dinobatkan sebagai Film Terbaik yang berhak menggondol trofi DFF dan uang tunai sebesar Rp20 juta. Empat unggulan yang tersisih tetap mendapat hadiah uang tunai masing-masing sebesar Rp3,5 juta.

 

Pada kategori pelajar dipilih tiga juara yang secara berturut-turut mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp5,5 juta, Rp4juta, dan Rp3,5 juta.

 

Selain dua kategori di atas, terdapat pula kategori yang diperuntukkan khusus bagi pelajar di SMP-SMA di Kota Denpasar, yakni Video Promosi Denpasar sebagai Kota Pusaka.

 

Project 88

Untuk pameran foto esai, melanjutkan yang telah dirintis tigaa tahun sebelumnya. Karya yang dipamerkan adalah foto esai dengan delapan gambar dilengkapi narasi sepanjang delapan alinea. Karya yang ditampilkan pada pameran Project 88 adalah karya peserta Kemah Pelatihan yang dalam proses berkaryanya dimentori oleh fotografer profesional Totok Parwatha, Wisnu Wirawan, dan Dechi Ruditha.

 

Lomba Resensi Film Dokumenter

Diselenggarakan bagi para jurnalis, pecinta film, blogger, dan masyarakat umum di Bali. Karya merupakan resensi terhadap film dokumenter yang disiapkan panitia dan telah dimuat di media umum atau media online yang telah beroperasi secara ajeg selama tiga tahun.  Karya akan dinilai oleh dewan juri yang dikepalai oleh Bre Redana, wartawan senior Harian Kompas.

 

Mengomentari semua program yang diselenggarakan DFF ini, Plt Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Dra Ni Nyoman Sujati, MM mengatakan, selaku lembaga pengemban amanat  memberdayakan dan membangun partisipasi masyarakat di bidang seni-budaya, pihaknya selalu mendukung prakarsa kreatif yang tumbuh dari seniman dan pegiat perfilman di Kota Denpasar. Menurutnya, sebagai birokrat kesenian, pihaknya bertugas untuk memfasilitasi semua kreativitas tersebut.

 

“Semakin banyak prakarsa dari masyarakat seni atau pegiat kegiatan kreatif, semakin ringan tugas kami dalam menjalankan amanat yang diletakkan di pundak kami,” paparnya.

 

Oleh karenanya pihaknya berusaha keras untuk terus menjaga sinergi yang baik antara para seniman dan birokrat di bidang kesenian di Kota Denpasar.

 

Isu-isu Penting pada DFF 2017

  • Mengawal semangat kebersamaan dalam keragaman.
  • Mengawal semangat melindungi Bali dari krisis air.
  • Menguatkan komunitas film di Bali (daerah) dengan membangun jaringan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
  • Membangun perfilman Nasional melalui upaya apresiasi dan edukasi
  • Memaksimalkan sumber daya di daerah untuk membangun semangat persebaran aktivitas produksi film di Tanah Air guna memunculkan karifan lokal di masing-masing daerah.
  • Merupakan bagian dari gerakan Ekonomi Kreatif Kota Denpasar yang menjadikan kreativitas sebagai “komoditi” utamanya sehingga mengurangi tabiat mengeksplorasi alam sebagai ladang pendapatan.

 

Dewan Kurator DFF

  • Putu Kusuma Wijaya (Buleleng, Sutradara, Alumni Dutch Film School, Amsterdam)
  • Tonny Trimarsanto (Klaten, Sutradara, Peraih Lima Penghargaan Internasional di Bidang Dokumenter)
  • Gerzon Ron Ayawaila (Jakarta, Dosen IKJ, Alumni Universiteit van Amsterdam)

 

Dewan Juri DFF

  • Slamet Rahardjo Djarot (Jakarta, Sutradara)
  • Lawrence Blair (Amerika Serikat, Antropolog)
  • Rio Helmi (Ubud, Fotografer)
  • I Made Bandem (Denpasar, Etnomusikolog)
  • I Wayan Juniartha (Denpasar, Jurnalis)
  • Bre Redana (Jakarta, Jurnalis)