Sejumlah intelektual Indonesia alami “kematian akademis” di ranah digital.

Jakarta, (Metrobali.com)

Pemanggilan Effendi Gazali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu terkait dua skandal korupsi besar yang mengguncang panggung politik nasional membuat koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi gusar.

 

Pasalnya, menurut Adhie, Effendi Gazali itu salah satu aktivis GIB yang kelahirannya (2009) diinisiasi tokoh lintas agama pimpinan Din Syamsuddin yang ketika itu Ketua Umum PP Muhammadiyah sekaligus Chairman CDCC (Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations – Pusat Dialog dan Kerjasama Antar-Peradaban). Tujuan GIB itu untuk menghambat kian derasnya arus korupsi di negeri ini.

 

“Buat saya tidak penting apakah kelak sahabat saya itu dinyatakan terlibat atau tidak, tapi faktanya Effendi Gazali (EG) berada di dua pusaran korupsi besar nasional, bahkan dalam kasus yang melibatkan Menteri KKP Edhy Prabowo, EG berada di ring-1 karena ia salah satu penasihat sang menteri,” tutur Adhie.

 

Seperti sudah banyak diberitakan, EG dua kali dipanggil KPK terkait dua skandal korupsi yang menggegerkan dunia politik nasional, yaitu kasus korupsi benur/lobster yang melibatkan MenKKP Edhy Prabowo (Gerindra) dan skandal bantuan sosial (Bansos) yang melibatkan Mensos Juliari Batubara (PDIP). Kedua bekas menteri itu kini dibui KPK dalam operasi khusus anti-korupsi.

 

Ranah Digital, Kuburan Intelektual

 

Pemanggilan EG oleh KPK terkait skandal korupsi, menurut Adhie, akan menambah daftar kalangan intelektual Indonesia yang mengalami “kematian akademis”. Maksudnya, sebagai akademisi, pernyataan dan pandangannya akan mendapat diskon kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat yang memiliki rekam jejak digitalnya.

 

Makanya, jubir presiden era Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ini menilai mundurnya Prof. Drs. Effendi Gazali, M.Si., MPS.ID., Ph.D dari institusi tempat dia mengajar (Universitas Indonesia dan Universitas Prof Dr Moestopo Beragama) merupakan langkah yang tepat.

 

Adhie melihat EG bukan satu-satunya intelektual yang alamai “kematian akademis” di ranah digital. Ada banyak nama intelektual Indonesia yang jauh sebelumnya sudah mengalami nasib serupa, kehilangan kepercayaan publik sebagai akademisi.

 

Lihatlah Denny JA, tokoh penting yang mempopulerkan jajak pendapat publik di sektor politik, pemilik LSI (Lembaga Survei Indonesia). Mengalami “kematian akademis” gegara hasil berbagai surveinya dianggap publik jauh dari fakta, terutama terkait pandemi virus komunis China Covid-19, yang pada akhir April 2020 menyatakan: “Indonesia Hampir Normal dari Covid-19 Juni 2020”.

 

Yunarto Wijaya, akademisi yang mimpin lembaga survei Charta Politika Indonesia alami “kematian akademis” setelah jadi bulan-bulanan masyarakat (digital) karena tak lama setelah dia menyatakan  “Bansos Kemensos Tepat Sasaran”, KPK mencokok sang Mensos akibat manipulasi jutaan paket bansos fiktif.

 

Kata Adhie, kalau mau melakukan autopsi digital terhadap sejumlah intelektual yang manggung di ranah politik nasional digital, kita akan menemukan banyak tokoh yang sudah mengalami kematian akademis.

 

“Coba saja autopsi (digital) nama-nama intelektual yang berada di sentra-sentra kekuasaan, baik di pusat yang di jajarab kabinet maupun pimpinan lembaga-lembaga negara, maupun para pemimpin di daerah, hasilnya pasti akan mengejutkan. Banyak ‘zombi intelektual’ gentayangan di jajaran kekuasaan negeri ini,” pungkas Adhie M Massardi.