Enam Bulan Pemerintahan Presiden Prabowo, Risiko Perang Tarif dan Perang Dagang yang Menghadang
Jakarta, (Metrobali.com)
Enam bulan usia pemerintahan Presiden Prabowo, agaknya waktu sedang tidak memihak, terjadi potensi perang tarif yang mengarah ke perang dagang, yang dipicu oleh provokasi kenaikan tarif “gila-gilaan” yang dilakukan Presiden AS Donald Trump.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, Minggu 20 April 2025 menanggapi Enam Bulan Pemerintahan Presiden Prabowo, Risiko Perang Tarif dan Perang Dagang yang Menghadang.
Dikatakan, Sejarah mengajarkan, perang tarif menuju perang dagang, bisa melahirkan krisis besar ekonomi dasa warsa tahun 1930’an yang disebut dengan depresi ekonomi besar- great depresion -, yang menjadi pemicu dari Perang Dunia II.
Menurut Sudibya, kebijakan radikal tarif dari Presiden Trump, mengingatkan dunia akan risiko perubahan radikal dalam dalam dunia yang semakin multi polar, dengan kelabilan ekonomi politik tinggi, yang semakin folatile dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Dikatakan, tantangan bagi Presiden Prabowo dalam enam bulan pemerintahannya antara lain, menyusun strategi penyelamatan ekonomi Indonesia, dengan skenario terburuk, dengan risiko terjadinya depresi besar ekonomi, model tahun 1930’an.
Selain itu, katanya fakta keras ekonomi yang dihadapi: perkiraan defisit fiscal tahun 2025 bisa mencapai Rp.800 T – Rp.1 000 T, nilai rupiah yang terus menurun melampaui Rp.17,000 per 1 dolar AS.IHSG yang terus merosot, yang menggambarkan tingkat kepercayaan para pelaku pasar di pasar uang dan modal terus mengalami penurunan berkelanjutan.
“PHK puluhan ribu orang, pada saat daya beli masyarakat kelas menengah mengalami tekanan. Fakta keras ekonomi yang mengharuskan mengelolaan ekonomi secara lebih cerdas, untuk menghindari risiko, krisis ekonomi “bersinggungan” dengan krisis politik, yang semakin sulit dikendalikan,” kata Jro Gde Sudibya.
Menurut Sudibya, Presiden semestinya lebih menampilkan kepemimpinannya yang otentik, untuk mampu menjabarkan idealisme yang selama ini dijanjikan, melakukan reshufle kabinet yang secara lebih progresif, sehingga “public trust” kepemimpinannya, bisa direhabilitasi, sesuai dengan tuntutan dinamika perubahan.
Dikatakan, “Sense of Crisis” dari kepemimpinan Presiden semakin menjadi penting, komunikasi publik yang semestinya terus dibenahi, penataan ulang proyek masa lalu semestinya dilakukan, dengan memperhatikan kondisi APBN yang sedang mengalami “pendarahan”.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan