Datangi Rumah Warga Sebatang Kara di Rumah Kumuh, Politisi Gerindra Ngurah Aryawan Tersentuh: Pemerintah Kota Tidak Boleh Tutup Mata, Didorong Segera Lakukan Bedah Rumah
Foto: Anggota DPRD Kota Denpasar dari Partai Gerindra, Ketut Ngurah Aryawan, datang meninjau langsung ke lokasi rumah warga yang kumuh dan membutuhkan bantuan bedah rumah.
Denpasar (Metrobali.com)-
Di tengah gegap gempita Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali, tersimpan kisah sunyi yang menyentuh nurani. Sebuah rumah reyot berdiri di Banjar Tegal Linggah, Desa Padangsambian Kaja, seakan menjerit diam di tengah kemajuan kota. Di dalamnya, I Nyoman Sudiatmaja menjalani hari-hari sendiri, dalam sunyi dan keterbatasan. Ia yatim piatu, hidup sebatang kara. Dinding rumahnya nyaris runtuh, atap bocor, dapur dan kamar mandi jauh dari kata layak.
Ketika Anggota DPRD Kota Denpasar dari Partai Gerindra, Ketut Ngurah Aryawan, datang meninjau langsung ke lokasi, hatinya terguncang. Ia tak sekadar melihat bangunan usang—tapi menyaksikan bagaimana pembangunan bisa melewatkan satu kehidupan yang layak.
“Sanitasi adalah pondasi kesehatan. Kalau rumah saja tak sehat, bagaimana kita bicara Denpasar yang maju? Ini bukan hanya rumah rusak, ini panggilan nurani,” ucap Anggota Komisi I DPRD Kota Denpasar itu dengan nada lirih namun tegas.
Ngurah Aryawan meminta Pemerintah Kota Denpasar untuk segera turun tangan. Ia mendorong program bedah rumah dilakukan tanpa harus menunggu laporan warga. Bagi Ngurah, pemimpin yang baik bukan hanya duduk menunggu data, tapi hadir menyaksikan sendiri luka-luka kecil yang tersembunyi di balik kemewahan kota.
“Warga ini miskin, tinggal sendiri, dan tak ada keluarga. Masa kita harus menunggu pengaduan dulu baru bertindak? Pemimpin sejati itu jemput bola,” kata pria yang dikenal selama ini dengan banyak kepedulian sosial jauh sebelum menjadi wakil rakyat lewat pengabdiannya untuk kemanusiaan sebagai Ketua Karang Taruna Kota Denpasar
Tak hanya soal rumah. Ngurah juga menyoroti irigasi yang tersumbat, jalan-jalan yang tak tersentuh pembangunan selama bertahun-tahun, hingga lampu jalan mati yang merenggut rasa aman warga.
“Denpasar ini hebat karena budayanya. Tapi sehebat apa pun kota, kalau jalannya berlubang dan gelap, masyarakat tetap dalam bahaya,” ujarnya tajam.
Ia mengingatkan, keadilan pembangunan tak boleh hanya jadi jargon. Akses dasar seperti air, cahaya, dan tempat tinggal layak harus menyentuh semua lapisan.
“Mereka yang diam bukan berarti tak butuh. Justru kita yang harus lebih peka,” pungkas Ngurah Aryawan, meninggalkan pesan yang menggema jauh melampaui tembok retak di rumah kecil itu. (wid)