Jakarta, (Metrobali.com)-

Bayang-bayang krisis ekonomi menjelang Hari Rayam Nyepi dan Lebaran.
a.Nilai Rupiah yang labil, terus tertekan, mendekati kurs Rp.16,500 per 1 Dolar AS, berbarengan dengan tekanan terhadap APBN dengan prediksi defisit tahun ini, sebesar Rp.600 T, punya risiko mengulangi terjadinya krisis keuangan dan kemudian krisis ekonomi politik tahun 1998.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Rabu 26 Maret 2025 menyikapi krisis ekonomi di Indonesia.

Dikatakan, IHSG sempat turun 6,12 %, penurunan signifikan, sedangkan bursa di banyak negara Asia tetap stabil, bahkan ada kenaikan indeks 1 – 2 %. Gambaran dari menurunnya kepercayaan pelaku pasar dan modal terhadap posture ekonomi Indonesia.

Menurutnya, tekanan terhadap daya beli masyarakat menengah ke bawah, dengan indikator: PHK puluhan ribu tenaga kerja, “tersungkurnya” kelas menengah menjadi kelompok yang menjadi rentan miskin, deflasi dalam beberapa bulan terakhir, yang punya potensi menaikkan ketegangan sosial.

Sementara, lanjut Jro Gde Sudibya Produk legislasi yang anti demokrasi: pembahasan tertutup, minim konsultasi publik, dilakukan super cepat, untuk revisi UU: Minerba, BUMN dan TNI. Revisi UU Minerba, bentuk kompensasi, bahasa lebih halus dari “penyuapan” bagi ormas keagamaan dan kalangan universitas untuk menurunkan derajat kontrolnya pada pemerintah.

“Revisi UU Minerba yang melahirkan Danantara, yang oleh berbagai pihak dinilai cacat hukum, ” katanya.

Mengapa? karena: pembahasan tidak transparan, punya potensi moral hazard yang melibatkan kekayaan negara di sejumlah BUMN dengan total kekayaan Rp.15,670 T. Revisi UU TNI, dengan kekhawatiran besar kembalinya Dwi Fungsi ABRI model pemerintahan Orde Baru.

Dikatakan, pembahasan Revisi UU pada butir dua di atas, menyulut ketidakpuasan publik terhadap pemerintah, menaikkan “social distrust”, punya potensi melahirkan titik kritis persilangan “cross fire” antara krisis ekonomi pada butir satu, krisis politik yang dipicu oleh ketidakpuasan publik pada butir dua, punya potensi melahirkan krisis politik model tahun 1998.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan