Selamatkan Air, Demi Kehidupan : Bali Sedang Krisis Air Bersih
Pakar Lingkungan dan Pertanian Organik, Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S
Terkait masalah air, kalau kita mau jujur, Bali sesungguhnya sedang tidak baik-baik saja. Fakta empiris menunjukkan air Sungai (Tukad) Ayung yang merupakan sumber air bagi PDAM Kota Denpasar, Badung dan sekitarnya. Selain keruh, saat ini kualitas airnya sangat menurun bahkan bercampur pasir. Volume air di empat danau di Bali terus berkurang seiring polusi danau hebat dan sedimentasi yang mengancam kelestarian danau. Secara global, data menunjukkan, ketersediaan air tawar hanya 1% dari seluruh jumlah air di dunia. Sementara, jumlah penduduk dunia terus melonjak. Hal itulah yang dibahas dalam World Water Forum di Bali 18-25 Mei 2024 lalu. Dalam rangka Hari Hutan 21 Maret dan Hari Air 22 Maret kemarin. isu krisis air khususnya di Bali sangat penting digulirkan, guna menyadarkan pemerintah daerah dan rakyat Bali betapa pentingnya masalah ini ditangani secara serius.Itulah yang menjadi concern pakar lingkungan Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S dan sejumlah aktivis lingkungan Paiketan Krama Bali, BumiKita bersama mahasiswa Fakultas Pertanian Unud saat membahas krisis air di Bali dalam sebuah webinar “Air dan Kehidupan” dipandu oleh I Putu Angga Saputra. Webinar yang digelar atas kerjasama Yayasan Bali Organic Association (BOA) dan Maporina Bali, Sabtu, 22 Maret 2025 ini juga dihadiri oleh beberapa tokoh senior Paiketan Krama Bali dan para aktivis lingkungan.
Dalam sesi pembuka, Ni Luh Kartini yang menjadi narasumber tunggal itu memaparkan bahwa hutan adalah “ibunya” air dan “ibunya kehidupan; Air adalah “ibunya” pertanian. Air sangat dibutuhkan oleh Subak; Air hubungan erat dengan danau; Ada pertautan antara Air – Pangan – Energi dengan Tata Ruang. Karenanya, orang Bali mengenal istilah Nyegara Gunung. “Tanpa Air tak ada kehidupan. Jika krisis air ini tidak segera mendapat perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh, maka masa depan generasi (anak-cucu) kita akan sangat sulit.
Air Adalah Segala-galanya
Kartini mengurai, UUD 1945 Pasal 33 telah menyiratkan bahwa tanah dan air sebagai sumber kehidupan yang bisa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya juga menyiratkan pentingnya tanah dan air. Orang Bali mengenal istilah Buana Alit (jagat cilik/mikrokosmos/manusia) harus menjaga Buana Agung (makrokosmos/jagat raya/bumi) dengan Bhisama, Kutukan dalam lontar Laknat Jagat Upadrawa, Tri Kaya Parisuda, Tri Hita Karana, Sad Kertih, Catur Purusa Artha, Bhisama Batur Kalawasan, Karma Pahala, Subak dll. Kartini menyebut, Leluhur Kita (orang Bali) sangat hebat. Terbukti, Bhisama dan konsep Tri Kaya Parisuda dilaksanakan dengan konsisten sehingga terjadi keseimbangan alam termasuk keseimbangan biodiversity tanah.
WWF ke-10 di Bali membahas masalah ketersediaan air. Menurut Kartini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yakni : (1). Air didunia sudah hilang 50% (bagaimana dengan di Bali ? Data BWS Bali Penida pada Tahun 2011 Bali sudah divisit air). Pertanyaan besarnya : Kenapa para pejabat di Bli belum berteriak ? Apakah karena masih ada air tanah ? (2). Banyak danau di dunia sudah hilang/lenyap karena tanpa air. Danau di Bali punya potensi untuk itu; (3). Banyak air danau di dunia beracun. Danau di Bali berpotensi untuk beracun. Itulah kenapa, kita semua harus cinta air, harus melestarian sumber air. Kita harus bersatu padu berkolaborasi mengatasi semua permasalahan yang terkait dengan tanah dan air.
Sawah yang indah, hasil padi melimpah, petani bergairah.
Menurut Ni Luh Kartini, keberadaan dan keberlanjutan air wajib kita jaga. Tiga perempat bagian dari tubuh kita terdiri dari air otak (74,5 persen), tulang (22 persen), ginjal (82,7 persen), otot (75,6 persen), dan darah (83 persen). Ia merinsi berbagai fungsi air bagi manusia : 1. Memberikan oksigen ke seluruh tubuh. 2. Melindungi otak, sumsum tulang belakang, dan jaringan sensitif lainnya. 3. Mengatur suhu tubuh. 4. Membantu menjaga tekanan darah. 5. Melancarkan sistem pencernaan. 6. Membuang kotoran tubuh. 7. Mencegah kerusakan ginjal. 8. Membuat mineral dan nutrisi dapat diakses. 9. Melumasi sendi. 10. Media transportasi bagi zat gizi dan oksigen lewat peredaran darah. Jadi, tanpa air, manusia tidak bisa bertahan hidup.
Stop Menebang Pohon dan Merusak Hutan
Sebagai pakar lingkungan, Ni Luh Kartini sangat melarang keras siapa pun merusak hutan. Hutan adalah “ibunya” air dan air adalah “ibunya” pertanian. Hutan itu harus dipenuhi oleh pohon sebagai sumber kehidupan agar air tetap mengalir bagi kehidupan manusia, hewan dan tanaman. Agama Hindu mengajarkan pemeluknya melestarikan sarwa prani hitangkarah (semua bentuk kehidupan). Umat Hindu melestarikan pohon sebagai sumber kemakmuran melalui Tumpek Pengatag (Pengarah) 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Saat Tumpek Pengarah, umat Hindu menyebut alam sebagai “dadong” seraya mempersembahkan sesajen di pepohonan agar berbuah lebat menjelang Hari Raya Galungan.
Kata Luh Kartini, pohon sangat bermanfaat untuk : pabrik oksigen bagi makhluk hidup – pabrik makanan – penyerap polusi udara – penyerap gas CO2 yang menurangi dampak pemanasan global – akarnya menyerap air hujan yang membantu menghindarkan banjir dimusim hujan dan persediaan air dimusim panas – pohon yang rindang berfungsi sebagai AC alami, karena menurunkan suhu udara di sekitarnya. Karena itulah, berada di bawah pohon selalu merasa sejuk. Kartini yang juga Pengawas Paiketan Krama Bali juga memaparkan betapa pentingnya hutan. Dikatakan bahwa 1 (satu) hektar hutan (tutupan lahan 100% ) dapat berfungsi : (1). Menurunkan suhu udara sekitar 5-8 derajat Celcius; (2). Menyimpan 900 Meter Kubik air tanah pertahun dan (3). Meredam kebisingan suara hingga 75 persen. Kartini menjelaskan siklus air, mulai dari air laut terpapar sinar matahari terjadi penguapan, mendung – hujan membasahi tanah bumi, menghidupi tumbuhan, hewan dan manusia dan semua kehidupan, mengalir kembali ke laut.
Hutan hidup dengan cara organik dan tertutup (mandiri). Kenapa hutan organik itu tertutup ? Menurutnya, karena organik adalah organism artinya KEHIDUPAN bukan bahan sintetis/kimia. “Tertutup” artinya dapat menghidupi dirinya-sendiri (Urip Nguripi) dan sama sekali tidak memerlukan apa pun dari luar (ALAM). Organic itu berbicara tentang keteraturan dan keseimbangan identik dengan tanggung jawab di dalamnya ada kebutuhan bukan keinginan. Hutan secara alami mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan semua kehidupan di alam ini dari yang bersel satu sampai manusia. Ketika hutan dirabas/dimusnahkan, maka tanggungjawab hutan juga ikut termusnahkan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan akan air oksigen, makanan dan lain-lain. Akibat dari keinginan (EGO) manusia, manusia meninggalkan dan melupakan tanggung memelihara lingkungan dengan menggunakan bahan-bahan pupuk kimia, ada sintetis dan pestisida kima yang sangat merusak alam dan kehidupan di tanah. Harusnya, pertanian di mana pun menjaga keseimbangan alam melalui pertnian organik, bersahabat dengan alam dan seluruh organisme yang hidup di tanah. Ini adalah wujud pertanian dengan ECO (menjaga ekosistem dan alam) yang sangat bertentangan dengan pertanian EGO dengan pupuk kimia dan pestisida yang merusak alam.
Air dan Subak
Dalam kegiatan pertanian, orang Hindu di Bali melalui organisasi tradisional Subak, selalu menjaga kelestarian air dalam setiap langkah kegiatannya. Petani Bali memelihara sumber air dengan sangat sempurna. Petani Bali sangat menghormati tanah dan air. Tanah disebut sebagai “Ibu Pertiwi” sumber kehidupan sementara air disebut sebagai Dewa Wisnu, Tirtha Amertha sumber kehidupan yang memberi kesejahteraan. Di dalam organisasi Subak setiap memulai kegiatan pengolahan tanah ada upacar “Mapag Toya” (menjemput air). Ini dalah kearifan lokal tetua Bali yang tak bisa ditemukan di mana pun di seluruh dunia.
Betapa Pentingnya Air Bagi Petani
Ni Luh Kartini, yang sejak usia SD hidup di keluarga petani sangat concern terhadap kelestarian alam. Kepeduliannya kepada alam ia wujudkan melalui pendidikan pertanian hingga mengantarkannya sebagai gurubesar pertanian organik. Ia mengingatkan para pejabat di Bali dan seluruh stakeholders agar kembali menjaga alam dan lingkungan Bali yang saat ini sedang rusak, krisis air bersih dan polusi hebat.
Di kesempatan terpisah, dalam sebuh video yang viral, budayawan dan aktivis lontar Sugi Lanus mengatakan, dalam 35 tahun mendatang, Subak di Bali akan hilang, jika konversi lahan pertanian sawah dibiarkan terus seperti saat ini. “Saya prediksi, UNESCO akan mencabut Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) terhadap Subak di Bali jika konversi lahan sawah dibiarkan terus oleh para pejabat di Bali” ujarnya. Ia prihatin dengan tingkah polah pejabat di Bali yang benar-benar abai terhadap kelestarian Subak dengan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak berpihak pada pertanian dan Subak. Secara implisit, para pejabat di Bali disebutnya hanya memikirkan dirinya sendiri (pragmatis) saat ini, tanpa berpikir ke masa depan Bali untuk anak-cucu kita, masa depan Bali dan seterusnya.
Kutukan Bagi Pemimpin
Ni Luh Kartini menyatakan, para pemimpin harus tahu akibatnya jika melanggar Bhisama Batur Kalawasan. Kutukan leluhur dalam Lontar Bhisama Batur Kalawasan itu bisa menjadi kenyataan jika para pemimpin melanggarnya. Ia menyitir kutukan Bhisama Lontar Batur Kalawasan : Ingatlah pesanku wahai anak-anakku sekalian, di kemudian hari jagalah kelestarian gunung dan laut, gunung adalah sumber kesucian, laut tempat menghilangkan kekotoran, di tengah “dataran” melaksanakan kegiatan kehidupan, hiduplah dari hasil tanganmu sendiri, jangan sekali-kali hidup senang dari merusak alam, kalau tidak mematuhi, kamu terkena kutuk. Tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan dan minuman, terkena berbagai macam penyakit dan bertengkar sesama saudara.
Bila dicermati dan diakui secara jujur, saat ini kutukan itu sudah sebagian menjadi kenyataan. Oleh karena itu, sebelum orang Bali semakin terlambat, Kartini menghimbau para pemimpin Bali gubernur, bupati/walikota dan jajarannya agar serius menangani masalah krisis air dan kerusakan lingkungan saat ini. “Saya mengajak para pemimpin saat ini dan kita semua, harus mewariskan mata air kepada nak-cuci kita. Jangan justru mewariskan air mata” ujarnya.
Dalam sesi diskusi, para peserta webinar setuju apa yang dipaparkan oleh Ni Luh Kartini. Dr. I Njoman Sutedja, M.Mar, senior dan aktivis Paiketan Krama Bali mengaku setuju 100 % apa yang dipaparkan Ni Luh Kartini. Tinggal sekarang bagaimana implementasinya. Sutedja mengajak semua pihak untuk bersatu padu membuat gerakan penyelamatan air dan lingkungan. Ia mengaku siap mensupport dari belakang, siap di tengah bahkan di depan sekali pun. Nyoman Merta yang juga Direktur Eksekutif Paiketan Krama Bali menambahkan, kerusakan alam Bali bukan lagi ancaman tetapi sudah menjadi kenyataan. Konversi lahan sawah di Bali saat ini 2000 hektar per tahun. Ini akibat pemerintah terlalu ambisius mebangun infrastruktur yang mengorbankan kelestarian ligkungan dan lahan sawah produktif. Belum lagi kerusakan hutan lindung di berbagai lokasi di Bali. Sistem perijinan online One Single System (OSS) telah mengakibatkan kerusakan serius bagi lingkungan Bali. Karena investor dengan mudahnya merusak hutan lindung dan lahan pertanian untuk membangun infrastruktur fisik. Menurutnya, berbagai undang-undang dan peraturan telah diterbitkan oleh pemerintah untuk melindungi lahan pertanian, namun implementasinya sangat kurang bahkan tidak ada sama sekali. Nyoman Merta merinci berbagai peraturan yang melindungi lahan pertanian, hutan dan Subak yakni : (1) UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B); (2) Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak; (3) UU No.15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali; (5) Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2022 tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH); (6) Konsep THK : Subak mengurus Parhyangan (Pura Subak), Palemahan (Irigasi), Pawongan (Sinergi Krama Subak-gotong royong); (6) PBB melalui UNESCO memberikan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia (Word Heritage UNESCO) pada Tahun 2012; (7) Kearifan Lokal : Budaya Pertanian (Agriculture) – (Ibu Pertiwi) mesti dipertahankan, jika ingin Bali masih bertahan untuk anak-cucu. Nyoman Merta mengajak semua pihak untuk menggulirkan gerakan penyelamatan lahan pertanian, hutan dan alam Bali dan mengingatkan pemerintah akan bahaya kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan yang dibiarkan sehingga sangat mengancam masa depan anak-cucu orang Bali (*ram).