Diberitakan di medsos, sekitar 1,500 Pecalang melakukan “Apel” di halaman Bajra Sandi, dihadiri oleh Pucuk pimpinan formal seluruh Bali.
Bajra Sandhi, mengingatkan kita akan penggagasnya Gubernur Mantra, proyek ini sempat mangkrak, kemudian dilanjutkan dan difinalkan oleh Gubernur Dewa Beratha.
Dari Gubernur Mantra, kita dapat belajar tentang kepemimpinan berbasis spiritualitas, dengan pendekatan deduktif, basis pengetahuan spiritualitas, sebut saja spiritual enlighment. Dijabarkan dan dirumuskan secara lebih rinci, dibumikan, dalam rangkaian kebijakan untuk mencapai cita-cita, sebut saja yang tertuang dalam UU Pemerintahan Daerah Bali.
Dari Gubernur Dewa Beratha, kita dapat belajar tentang kepemimpinan spiritualitas dengan pendekatan induktif, laku kepemimpinan secara suntuk diabdikan untuk cita-cita keseimbangan kehidupan, memegang teguh tradisi, bersetia pada peninggalan para pemimpin Bali terdahulu dalam kurun waktunya yang panjang, yang pada akhirnya mencapai pencerahan rokhani, -spiritual enlighment-. Dari penggagas berdirinya Bajra Sandhi, diekspresikan pesan kepemimpinan dengan pendekatan “kembar”di atas, dari Atas Deduktif, dari Bawah mendaki ke Atas Induktif. Pendekatan kepemimpinan holistik yang “ngider bhuwana, “nemu guru”, gambaran ideal kepemimpinan berkelanjutan dan meninspirasi.
Menyimak fenomena sekarang, dimana politik sekadar alat dari industri kekuasaan, untuk pelanggengan kekuasaan, istilahnya “power feed to power”, barangkali agak naif kita mengulas kepemimpinan berbasis spiritualitas. Tetapi sebagai sebuah kebenaran sastra, pengetahuan ini mesti diungkap ke publik.
Timbul pertanyaan, apa hubungannya filosofi kepemimpinan Bajra Sandhi dengan apel sekitar 1, 500 Pecalang?.
Sebagai sebuah peristiwa an sich, mungkin tidak ada hubungannya, tetapi kalau digunakan pendekatan tidak ada peristiwa yang kebetulan di jagat Alam Raya ini, apalagi di Bali, alamnya selalu “terjaga”. Sebut saja, dalam upakara Pecaruan Tilem Kesanga, Jumat, 28 Maret 2025, ring Bencingah Agung Besakih diselenggarakan “ategepan pecaruan” yang bermakna NYOMYA, transformasi Bhuta menjadi Dewa, yang membuat Alam Bali bersih menyongsong Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Caka 1947.
Dalam perspektif sraddha dan pemikiran kepemimpinan Bajra Sandhi di atas, bisa jadi “konsolidasi” para pecalang di atas, yang berperan penting dalam “jaga baya” di masing-masing-masing Desa Pakraman menyampaikan pesan makna, pertama, konsolidasi kekuatan krama Bali harus terus menerus dilakukan, di tengah kemungkinan “reg ikang bhuwana”. Kedua, masyarakat Bali sadar akan kesejarahannya, belajar dari padanya, jangan sampai terulang kembali peristiwa politik masa lalu, yang membuat krama Bali menjadi korban dari perbuatan “gangsar tindak kurang daya”. Ketiga, dalam masa transisi, diperlukan pemimpin kuat pemberi teladan, “Satya Wacana”, punya VIVEKA, kecerdasan pembeda dalam hukum Rwa Bhineda yang semakin keras.

Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.