Spekulasi Mundurnya Menkeu Sri Mulyani, Tinjauan Teknokrasi Ekonomi
Jakarta, (Metrobali.com)
Spekulasi mundurnya Menkeu Sri Mulyani mempunyai alasan yang cukup kuat, dari sisi teknokrasi ekonomi.
Menurut I Gde Sudibya, ekonom, alumni FEUI 1983, Kamis 13 Maret 2025, sebagai “Econimist by training”, pakar di bidang kebijakan fiscal dan moneter, kebijakan fiscal yang hati-hati (prudent policy), “wajib hukumnya” untuk sehatnya pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko fiscal, mulai tertekannya pertumbuhan ekonomi, besarnya beban hutang luar negeri, sampai ke risiko negara gagal.
Dikatakan, efisiensi anggaran muncul sejak dikeluarkan Kepres I/2025, tanggal 22 Januari 2025, dengan alasan efisiensi anggaran, dengan memotong sejumlah anggaran Departemen dan lembaga senilai Rp.306,6 T.
Selanjutnya, kata I Gde Sudibya dana tersebut selanjutnya dialihkan sebagian ke MBG. Efisiensi berlanjut, kemudian mengurangi anggaran Kementrian PPUR, Perhubungan dan beberapa kementrian lainnya, yang kemudian rencananya akan disusul dengan tambahan pemotongan anggaran mencapai total Rp.750 T.
“Dan sebesar Rp.750 T. yang sebagian direncanakan untuk modal awal Danantara. Ini menunjukkan indikasi dari kebijakan fiscal yang tidak hati-hati, tidak prudent,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, Lembaga Pembiayaan Investasi Danantara, bentuk kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal, investasi, pasar uang dan modal), yang punya risiko tinggi untuk gagal.
“Dan, dari sini perlu perspektif kehati-hatian dalam pengelolaan: keuangan negara, ekonomi bangsa, karena sejumlah alasan,” katanya.
Dikatakan, alasan pertama bahwa dana terserap sangat besar, total kekayaan sejumlah BUMN Perbankan dan BUUMB lainnya senilai Rp.15,650 T, setara dengan US $ 900 M, tetapi pengaturan hukumnya sangat lemah, dan terdapat banyak “lubang” potensi penyimpangan.
b.Personil pengelolanya, pengusaha dengan latar belakang politisi, berelasi dengan pusat kekuasaan, sehingga potensi moral hazard dipersepsikan publik sangat tinggi.
Alasan kedua, “Social Distrust” publik terhadap lembaga pengelolaan keuangan negara dan juga pengelolaan BUMN di tingkat nadir, sebut saja kasus korupsi di: Pertamina, Tambang Timah, Aneka Tambang, Jiwasrya, Perum Asabri, membuat ketidakpercayaan publik pada Danantara pada saat kelahirannya.
“Risiko besar pada butir 1, kebijakan fiscal yang tidak prudent, pada butir 2 pendirian Danantara, sebagian besar akan dipikul oleh Menkeu sebagai bendahara Negara,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, risiko ini, bisa saja sebagai kredibilitas, integritas dan juga risiko hukum. Risiko ini, yang agaknya sedang dihitung oleh Sri Mulyani yang alumni FEUI tahun 1986 ini.
Alasan ketiga, adalah perbedaan dalam target pertumbuhan ekonomi. Sri Mulyani Indrawati, yang suntuk menggeluti perekonomian Indonesia, sebut saja dalam 40 tahun terakhir, sudah tentu pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi nyaris mustahil, dengan melihat data “time series” pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurutnya, dalam dasa warsa tahun 1970’an, minyak bumi sebagai komoditas utama ekspor Indonesia, pernah mencatat kenaikan harga 400 persen, akibat Perang Teluk, pendapatan negara melimpah, tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi di periode itu sekitar 6,7persen.
“Kalau pertumbuhan 8 persen dipaksakan, tambahan hutang luar negeri akan naik tinggi, bisa berakibat ekonomi terlalu panas (over heated economy) yang melahirkan inflasi tak terkendali – spiral and run way inflation -.
Negeri ini, trauma dengan inflasi tinggi, 1998, inflasi 80 persen, Pak Harto “lengser”,” katanya.
Menurutnya, di Tahun 1966, inflasi 650 persen, negara sedang mengalami ekonomi perang (war economy) meminjam istilah Prof.Ali Wardhana (mentor Sri Mulyani), Presiden Soekarno diberhentikan dari kekuasaan melalui Tap MPRS 33/1967.
“Sri Mulyani, sebagai ekonom, yang pernah memimpin LPEM (Lembaga Pendidikan Ekonomi Masyarakat) FEB UI, sudah tentu sangat paham dan fasih dalam mengulas data ekonomi kontemporer di atas,” kata I Gde Sudibya.
Menurut I Gde Sudibya, dari uraian teknokrasi ekonomi di atas, soal waktu saja Sri Mulyani Indrawati agaknya akan mengundurkan diri.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan