Ekonomi AS Sudah Lama Rapuh, Akankah Berpengaruh pada Ekonomi Indonesia?
Jakarta, (Metrobali.com)-
Ekonomi AS sudah lama rapuh, yang tergambarkan dalam hutang luar negeri yang berupa obligasi pemerintah yang diberi nama TB (Treasuary Bill) yang terus menaik. TB ini, dibeli oleh negara-negara yang kuat ekonominya, dengan cadangan devisa besar seperti China dan Jerman.
Hal itu dikatakan pengamat ekonomi dan pengamat masa depan ekonomi dunia Jro Gde Sudibya, 12 Maret 2025 menyikapi keberadaan Lembaga Danantara yang baru saja diresmikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto.
Menurut I Gde Sudibya Produktivitas ekonomi AS sangat ditentukan oleh industri: high tech, senjata, hiburan dan mungkin juga kecerdasan buatan.
“Kerapuhan ekonomi AS mencapai puncaknya, pada krisis keuangan tahun 2008, krisis perbankan akibat kredit macet di sektor perumahan. Krisis ini, sampai saat ini belum mampu diselesaikan,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, krisis ini membuat panik warga AS, yang tergolong kelas menengah ke bawah, pendidikan rendah, dan tidak pernah ke LN.
Menurutnya, kesempatan kerja mereka, diambil alih oleh para imigran dari banyak negara. Sikap frustrasi ini, melahirkan sosok Presiden Donald Trump yang oleh banyak pihak dinilai kontroversial.
Dilemanya, lanjut I Gde Sudibya, ekonomi AS adalah ekonomi skala sangat besar, pembeli beraneka produk dengan range luas, dari China, Korea Selatan, Jepang, Indonesia dan sejumlah negara lainnya. Penurunan permintaan dari AS, bisa berdampak resensi di banyak negara.
Dikatakan, Ekspor Indonesia ke AS termasuk 3 besar, berarti tambahan tarif, bisa menghambat ekspor Indonesia.
“Sayangnya pemerintahan Presiden Prabowo, tidak tampak “emergency programe” nya, menghadapi kelabilan ekonomi, akibat bleid ekonomi AS dalam “berperang” dengan China. Ekspor pakaian jadi, Alas kaki akan berdampak akibat kebijakan terbaru Trump,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, perusahaan China yang mengekspor ke AS, diperkirakan merelokasi pabriknya, kemungkinan besar ke Vietnam, bukan ke Indonesia. Dengan sejumlah alasan: ketidakpastian usaha, biaya birokrasi yang mahal, korupsi, dan ketidakpastian hukum.
“Dari tingginya pemutusan hubungan kerja, dan seratnya kesempatan kerja baru, UU Cipta Kerja tahun 2020 yang memberikan karpet merah ke investor, tidak mampu menarik investasi dan menciptakan kesempatan kerja yang diharapkan,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Ray Dalio, pendiri Bridgewater yang juga kini ditunjuk sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat Badan Pelaksana Investasi Daya Aguna Nusantara (BPI Danantara) RI, memberi peringatan ke ekonomi Amerika Serikat (AS), Rabu (12/3/2025).
Ia mengatakan bahwa masalah permintaan-penawaran yang signifikan terkait utang Paman Sam dapat berdampak sangat mengganggu pada ekonomi global.
Hal ini adalah bagian dari serangkaian peringatan keras lain yang sebelumnya diutarakan miliarder dana lindung nilai AS itu. Perlu diketahui, saat ini utang nasional AS sudah mencapai lebih dari US$36,2 triliun (Rp 5.954 triliun).
Jurnalis : Nyoman Sutiawan