Jakarta, (Metrobali.com)

Pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT. Sritex Solo Jawa Tengah sebanyak 10,665 orang mengindikasikan bahwa hal ini menunjukkan terjadi kegagalan di dalam pemerintahan Prabowo dalam menghadapi dan mengelola Krisis di Indonesia.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, Minggu 2 Maret 2025 menanggapi perkembangan politik akhir akhir ini di Indonesia.

Menurutnya, pemerintahan Presiden Prabowo telah gagal menunaikan janjinya untuk menyelamatkan perusahaan industri terbesar ini, dan menjanjikan tidak terjadi PHK massal.

Diberitakan, per 28 Februari 2025 telah terjadi PHK massal, karena PT. Sritex per 1 Maret 2025 mem-PHK karyawannya sebanyak 10,665 dan ditutup kegiatan operasionalnya.

Dikatakan, bagi 10,665 karyawan ini, ungkapan “Indonesia Gelap”, nyata adanya, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, merosotnya rasa percaya diri, dan ketidak-jelaskan akan masa depan.

Menurutnya, PHK besar-besaran di atas, menggambarkan deindustrialisasi di sektor manufaktur yang padat karya, telah begitu banyak memakan korban, negara telah gagal menyediakan kebutuhan dasar, kehidupan yang layak bagi warganya.

Dikatakan, pembangunan dalam 10 terakhir, dengan fokus pembangunan infrastruktur, dengan dana hutang sebesar Rp.6,000 T, belum termasuk hutang BUMN yang memperoleh penugasan dalam proyek infrastruktur struktur, telah gagal dalam penciptaan kesempatan kerja produktif.

“Strategi pembangunan infrastruktur, nyaris abai dengan politik penciptaan kesempatan kerja,” kata I Gde Sudibya kepada metrobali.com.

Dikatakan, unvestasi di sektor infrastruktur dalam 10 tahun terakhir, tidak mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, sehingga pendapatan negara dari pajak, tetap tersendat untuk membayar hutang pemerintah, yang untuk 5 tahun ke depan berjumlah Rp.3,046 T.

“Akibatnya APBN 2025 mengalami tekanan, perkiraan defisit Rp.600 T, setara dengan 17 persen dari total APBN,” katanya.

Menurutnya, hal ini merupakan tantangan bagi pemerintahan Prabowo, untuk mendesign strategi pembangunan yang pro penciptaan kesempatan kerja, -employment creation development strategy-, yang pernah cukup berhasil di era Orde Baru.

“Terlebih-lebih di era digital, dan era genzi yang punya preferensi dan kultur yang berbeda terhadap profesi, perubahan dan kemampuan merespons perubahan,” katanya.

Menurutnya, proyek pagar laut sepanjang 30 km yang penyelesaiannya mengambang, kisruh kelangkaan pasokan LPG 3kg, kontroversi pendirian Danantara, tidak jelasnya komunikasi publik pemerintah dalam skandal korupsi jumbo di Pertamina, memberikan indikasi kegagalan pemerintah dalam menangkap aspirasi publik, sekaligus kegagalan dalam mengantisipasi potensi krisis dan pengelolaan krisis.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan