Mobilitas Wisatawan Makin Fleksibel, Transportasi Bali Perlu SinergikanTeknologi Modern
Jakarta (Metrobali.com) –
Kepala Pusat Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Pariwisata Bali Diah Sastri mengatakan wisatawan yang berkunjung ke Bali memiliki preferensi karakter yang dinamis dan tidak terpola secara konvensional. Para wisatawan ini sering kali dipengaruhi oleh tren-tren dari media sosial dan komunitas digital.
Dalam studi akademis, kata Diah, pola perjalanan flashpacker dapat dikategorikan sebagai multi-centre disperse travel pattern atau tidak hanya mengunjungi satu destinasi tetapi bergerak secara dinamis dari satu tempat ke tempat lain. Flashpacker juga memiliki karakteristik hyper-mobile, yaitu cenderung mengunjungi banyak lokasi dalam satu periode perjalanan.
“Mereka mengutamakan kebebasan, fleksibilitas, dan efisiensi dalam eksplorasi, sering menggunakan transportasi yang cepat dan fleksibel seperti motor atau layanan transportasi online untuk memaksimalkan pengalaman perjalanan mereka,” ujar Diah kepada media di Jakarta, Senin (24/2/2025)
Menurutnya, transportasi bukan lagi sekadar sarana perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi telah menjadi bagian integral dari pengalaman wisata itu sendiri.
Studi Poltekpar menunjukkan bahwa transportasi yang nyaman, aman, dan mudah diakses sangat mendukung pengalaman perjalanan yang seamless dan menyenangkan.
Hal ini menjadi lebih penting bagi wisatawan dengan kebutuhan khusus, seperti solo female travelers dan wisatawan dengan disabilitas, yang memerlukan aksesibilitas dan keamanan yang lebih baik.
“Oleh karena itu, transportasi tidak hanya tentang mobilitas, tetapi juga tentang destination inclusivity providing accessible and available options for everyone,” tegasnya.
Diah menjelaskan moda transportasi di Bali sebaiknya saling melengkapi, bukan dikotomis. Setiap jenis transportasi memiliki nilai tambah tersendiri bagi wisatawan dengan kebutuhan berbeda, contohnya transportasi online cocok bagi wisatawan yang mengutamakan kenyamanan dan efisiensi.
Sedangkan, transportasi lokal memberikan pengalaman otentik dan lebih privat bagi wisatawan yang ingin merasakan budaya setempat. Sementara itu, transportasi publik menjadi pilihan bagi wisatawan dengan anggaran terbatas karena lebih ekonomis.
“Dengan adanya integrasi dan keterhubungan antar moda transportasi, wisatawan memiliki lebih banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan preferensi dan kebutuhan perjalanan mereka,” jelas Diah.
Dia menambahkan budaya yang lestari adalah budaya yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya. Dalam konteks transportasi, pendekatan yang sama harus diterapkan.
Pengembangan transportasi di Bali perlu memperhatikan preferensi wisatawan sekaligus mempertahankan nilai budaya masyarakat Bali. Sebagai contoh, kain tradisional ‘Endek’ yang dulu dianggap kuno kini telah menjadi bagian dari tren fesyen anak muda.
“Hal serupa dapat diterapkan dalam transportasi, misalnya dengan menghadirkan moda transportasi yang mengakomodasi teknologi modern tetapi tetap mempertahankan unsur budaya lokal. Akselerasi dan sinergi antara penyedia layanan transportasi, pemerintah, serta komunitas lokal menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem transportasi yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan bagi sektor pariwisata di Bali,” pungkasnya.(Rls)