Refleksi Raina Caraswati, Merayakan Raina Caraswati, di Tengah Fenomena Kedunguan Sosial
Penulis : Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.
Sabtu, 8 Februari 2025, raina Caraswati. Dalam perspektif Veda/Vedanta dan tradisi nyastra yang mentradisi di Bali, Caraswati merupakan aliran pengetahuan tanpa henti, abadi dari Alam Raya, yang membuat insan manusia yang terberkati cerdas secara intelektual dan cerdas secara spiritual. Dalam bahasa Svami Vivekananda: intelectual literate dan spiritual literate. Cerdas dalam membangun hubungan sebab-akibat, mengurai-jelaskan fenomena alam dengan kemampuan penalaran yang mumpuni.
Peka rasa dan intuisi, melahirkan kecerdasan spiritual sebagai “modal” rokhani menuju pendakian rokhani, pembebasan diri, kebebasan spiritual, tercerahkan sampai tingkat Samadhi.
Tetapi realitasnya, banyak ditemukan insan manusia, meminjam istilah Svami Vivekananda, mereka yang mengalami kebutaan intelektual (intelectual illiterate) dan kebutaan spiritual (spiritual illiterate), yang melahirkan “dasa muka” prilaku. Menyebut beberapa, kehilangan kecerdasan (maaf) menjadi dungu, melawan arus etika – moral, kepantasan dan kepatutan sosial dan kemudian melanggar hukum.
Timbul pertanyaan, bagaimana dalam masyarakat yang menghargai tinggi pengetahuan, dan bahkan memuja Dewi Caraswati sebagai simbolik Tuhan sebagai sumber pengetahuan, mengalami simpton, gelaja kedunguan sosial?.
Sebagai bahan refleksi dalam perayaan Caraswati, dapat dikemukakan beberapa bahan perenungan;
Pertama, dalam satu bait Upanisad dinyatakan, jika keserakahan menguasai manusia maka kecerdasan akan runtuh. Kecerdasan intelektual, dan tumpulnya kecerdasan spiritual.
Kedua, dalam Bhagavad Githa tentang Shamkya, ada tiga kategori kualifikasi manusia, Satvam, Rajas dan Tamas. Bagi mereka yang begitu terikat dengan kesementaraan, maya, menjadi “budak” darinya, bisa jadi kualifikasi tamas bertransformasi menjadi kebodohan dan kemalasan ( tetap dengan ambisi yang menyala-nyala). Rajas, ambisi besar membuat sang Diri sebagai “mesin” keinginan, tidak peduli etika moral, gambaran dari mereka yang “buta” secara rokhani. Kualifikasi Satvam tertutup oleh raja dan tamas, sehingga kualifikasi baik manusia “ditenggelamkan” oleh ahamkara, keakuan yang memuja benda, kekuasaan dan menjadi ukuran tunggal kesuksesan hidup, yang memperoleh “sorak sorai” dari masyarakat ramai.
Ketiga, dalam pandangan Mahatma Gandhi, dengan “teori ” 7 Dosa Sosial nya, kedunguan sosial berangkat dari Pendidikan tanpa Karakter, Penguasaan Iptek tanpa Rasa Kemanusiaan dan Pencarian Kesenangan tanpa Upaya Pembatasan Diri.
Tantangan yang tidak mudah dalam menemukan dan pembangkitan kembali kecerdasan diri.
Rahajeng nyanggra raina Saraswati, yang dalam tradisi Bali Pegunungan, raina Saraswati dirayakan tidak lagi sebagai pengetahuan rokhani yang abstrak, tetapi pengetahuan yang telah “dibumikan” memberikan kemakmuran, melalui ethos kerja seturut hukum karma yang berkelanjutan. Diberikan nama yang kaya makna Raina Pemugpug, perolehan kesejahteraan yang berangkat dari sebut saja pengetahuan niskala, dibumikan dalam kerja ke seharian.