Foto: Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Made Supartha didampingi Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Ni Luh Yuniati, Nyoman Suwirta, I Gusti Ngurah Gede Mahendra Jaya dalam keterangan pers di ruang Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali pada Selasa 4 Februari 2025.

Denpasar (Metrobali.com)-

Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Bali menyikapi serius permasalahan penutupan saluran irigasi di Subak Canggu, Kabupaten Badung. Sikap ini disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Made Supartha didampingi Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Ni Luh Yuniati, Nyoman Suwirta, I Gusti Ngurah Gede Mahendra Jaya dalam keterangan pers di ruang Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali pada Selasa 4 Februari 2025.

“Setiap aktivitas yang ada di Bali tentu perlu mencermati zona peruntukan lahan agar setiap aktivitas di suatu lahan terutama di atas lahan subak dapat disesuaikan dan tidak menyebabkan suatu pelanggaran hukum,” kata Supartha yang juga Anggota Komisi I DPRD Bali itu.

Kerusakan irigasi subak tentu berpotensi menyebabkan kekeringan pada lahan subak yang bergantung pada sumber aliran irigasi. Kemudian dengan adanya kerusakan irigasi subak dapat berdampak pada menurun hingga tidak dapatnya lahan subak untuk melakukan produksi hasil pangan hingga dapat mengancam kelestarian subak sebagai sistem kearifan lokal di Bali.

Sebagai instrumen pemerintahan daerah yang memiliki fungsi pengawasan maka DPRD Provinsi Bali perlu mencermati dan menyikapi kerusakan irigasi lahan subak sebagai tindakan perlindungan sekaligus sebagai bagian dari usaha pelestarian termasuk menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Setiap wilayah di Provinsi Bali tentunya telah memiliki fungsi masing-masing sehingga peruntukan yang dapat dilakukan di atas lahan tersebut patut disesuaikan.

Pada lahan subak tentu merupakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang ditetapkan untuk dikembangkan dan dilindungi dengan tujuan untuk menghasilkan pangan pokok yang dapat menjamin ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan.

Konsep subak juga sejalan dengan orientasi pemerintah terkait pendayagunaan lahan di bidang agraria, pertanahan, dan tata ruang bahwa subak beririsan dengan kebijakan menjaga ketahanan pangan nasional melalui Lahan sawah yang dilindungi (LSD) sebagai lahan sawah yang ditetapkan untuk dipertahankan fungsinya sebagai lahan pertanian pangan.

Merujuk pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah untuk dipergunakan sepenuhnya demi kemakmuran semua masyarakat. Berdasarkan uraian ketentuan pasal itu maka tersedianya lahan pertanian atau sawah merupakan salah satu faktor penting dalam membangun ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.

Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali mendorong Pemerintah seharusnya bertindak tegas dengan menggunakan instrumen hukum sebagai batasan-batasan dan perlindungan terutama dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan, hingga Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.

Terdapat juga aturan teknis yang dilaksanakan di wilayah 8 (delapan) provinsi termasuk di Provinsi Bali melalui Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi.

Apabila dicermati, Propinsi Bali yang merupakan bagian dari Keputusan Menteri ATR/BPN No 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tersebut, dengan memiliki total Luas Baku Sawah seluas 70.996,37 Ha, yang dipetakan dan ditetapkan menjadi Lahan Sawah Dilindungi (LSD) seluas 67.678,96 Ha, yang terbagi ke sembilan kabupaten/kota.

Sehingga mencermati peraturan yang ada maka dapat disimak ide dasar yang dituangkan ke dalam batang tubuh dari peraturan tersebut apabila dianalisis memiliki tujuan utama pengaturan adalah untuk melindungi dan menjaga lahan pertanian sebagai sarana pendukung kebutuhan pangan nasional.

Provinsi Bali juga telah memiliki aturan sendiri sebagaimana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak, yang apabila dihubungkan dengan subak maka setiap pembangunan Provinsi Bali diselenggarakan secara terencana dengan memperhatikan karakteristik Provinsi Bali dengan pendekatan tematik, menyeluruh serta terintegrasi antara alam, manusia, dan kebudayaan dalam satu kesatuan wilayah, pola, dan tata kelola guna mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang sejahtera dan bahagia dengan memperhatikan pemuliaan adat istiadat, tradisi, seni dan budaya serta kearifan lokal.

“Sehingga mencermati ketentuan-ketentuan ini secara tersirat memberikan perhatian bahwa lahan sawah (subak) sebagai lahan pertanian pangan wajib dilaksanakan suatu pengelolaan yang terstruktur dan holistik sehingga alih fungsi lahan dapat diminimalisir dan sebagai bagian dari usaha pelestarian termasuk menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan, ” ungkap Supartha.

Meskipun pada kenyataan terdapat kondisi yang terjadi menyimpang dari penegasan pasal tersebut, lahan sawah (subak) atau lahan pertanian pangan semakin berkurang diakibatkan beralihnya fungsi peruntukan lahan pertanian menjadi lahan yang bukan peruntukan pertanian.

Memberikan ruang secara tidak terkontrol untuk dilakukan eksploitasi pada kegiatan alih fungsi ke non-sawah tentu praktek tersebut menghalangi konsep pertanian berkelanjutan dan lahan sawah yang dilindungi. Terhadap kegiatan-kegiatan alih fungsi yang dilakukan tentu tidak menerapkan sisi menjaga kelestarian sehingga perlu disikapi.

Mencermati ancaman terhadap kerusakan irigasi lahan subak maka pemerintah khususnya pemerintah daerah wajib melakukan tindak lanjut terhadap lahan sawah yang dilindungi dengan mengenakan sanksi pidana atau administratif apabila terdapat kegiatan di atas lahan sawah yang dialihfungsikan ke non-sawah.

Atas dasar tersebut maka perihal penutupan saluran irigasi di wilayah Desa Canggu maka Pemerintah Provinsi Bali sebagai satuan pemerintah berbasis wilayah terkait tata ruang wilayah Provinsi Bali, kemudian lingkup kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung melalui instrumen dinas terkait yang melaksanakan kuasa pemerintahan seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Perijinan, Badan Pendapatan Daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), instrumen Desa Dinas hingga Desa Adat termasuk Subak, dengan peranan dan lingkup kebijakan masing-masing untuk kemudian dapat segera menyikapi dan menanggapi konteks permasalahan tersebut, dan pada akhirnya dapat direkomendasikan suatu tindakan-tindakan yang patut dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

“Kemudian apabila ditemukan unsur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siapa saja tentu hal tersebut merupakan perbuatan yang patut untuk dilakukan penertiban hingga proses penegakan hukum, sehingga aktivitas irigasi subak tidak terganggu dan dapat melaksanakan fungsi subak untuk memenuhi instrumen produksi hasil pangan di wilayah tersebut kemudian tidak lagi mengancam kelestarian sistem subak yang merupakan kearifan lokal Bali, ” ujar Suparta.

I Gusti Ngurah Gede Mahendra Jaya menambahkan Provinsi Bali dan Kabupaten Badung pada dasarnya memang sangat memerlukan investor untuk berinvestasi namun terdapat batasan-batasan kearifan lokal Bali sebagaimana salah satu contoh pada sistem subak yang secara konseptual dan aktivitasnya tetap dilestarikan, yang sekaligus juga digunakan sebagai daya tarik yang tidak dimiliki oleh daerah lain.

“Sehingga investasi yang berorientasi menjaga lingkungan tentu sangat diharapkan, investor yang akan dan sedang berinvestasi tidak akan dihalangi ataupun dipersulit untuk mengusahakan suatu wilayah atau daerah, namun Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung sebagai kuasa pengguna kewenangan tentu telah mengetahui dan memahami perihal bentuk kegiatan apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan, ” katanya.

Provinsi Bali dan Kabupaten Badung tentu masih menjaga kelestarian alam sebagai warisan kearifan lokal Bali sehingga investor yang akan dan sedang berinvestasi perlu untuk melakukan komunikasi secara berjenjang untuk memastikan segala bentuk kegiatan yang akan dan sedang dilakukan tidak menyebabkan rusaknya dan/atau terganggunya aktivitas lain yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung namun tetap mendapatkan gangguan.

Mencermati dinamika tersebut maka perlu direkomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung untuk melakukan pembenahan struktural sebagai bagian dari evaluasi kinerja, penyegaran lembaga dan pematik semangat melaksanakan tujuan yang ingin dicapai.

Sehingga dengan adanya penyegaran tersebut kemudian dapat dilakukan upaya-upaya tindak lanjut oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung dalam melaksanakan penertiban merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip Equality before the law perlu dikedepankan sebagai prinsip hukum yang menyatakan bahwa semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum atau sebagai kesetaraan di depan hukum.

Dalam sistem hukum modern bahwa prinsip equality before the law merupakan prinsip fundamental yang dapat dipergunakan untuk menjamin bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum.

Prinsip ini tidak memandang status sosial, ekonomi, ras, agama, atau latar belakang lainnya termasuk apakah mereka adalah masyarakat ataupun sebagai pemilik usaha atau investor.

“Sehingga hak-hak setiap orang, baik sebagai masyarakat ataupun sebagai pemilik usaha atau investor memiliki kesempatan yang sama untuk dilindungi, selain itu baik terhadap masyarakat ataupun sebagai pemilik usaha atau investor yang secara hukum dapat dinyatakan telah dilanggar maka terhadapnya wajib dimintakan pertanggungjawaban berupa penertiban hingga proses penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ” pungkas Mahendra Jaya. (wid)