‘Ngadu’ ke DPRD Bali: Warga Jimbaran Gugat PT Jimbaran Hijau dan PT CTS, Tanah 280 Hektar Jadi Sengketa
Denpasar, (Metrobali.com)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali berencana memanggil investor dan pihak terkait dalam sengketa lahan di Jimbaran, Badung.
Sengketa ini melibatkan tanah seluas 280 hektar yang sedang diperebutkan, dengan peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali.
Pernyataan ini disampaikan oleh I Nyoman Wirama, Koordinator Kuasa Hukum KAPET AFAT Jimbaran, setelah melakukan kunjungan ke Gedung DPRD Bali bersama ratusan warga Jimbaran pada Senin, 3 Februari 2025. Para warga kemudian diterima oleh anggota Komisi I DPRD Bali di Wantilan, Gedung DPRD Bali.
Wirama mengatakan bahwa pihak DPRD Balii akan mengkaji semua dokumen resmi terkait kasus ini dan segera memanggil investor serta BPN, apalagi masalah ini masih dalam proses pengadilan.
Pihaknya mengaku telah menyerahkan dokumen resmi yang dilengkapi dengan dukungan dari warga setempat.
“DPRD Bali berencana memanggil investor dan pihak yang terkait dengan kasus sengketa lahan di wilayah Desa dan Jimbaran Badung apapun yang jadi aspirasi dilengkapi dokumen resmi,” ungkapnya di Gedung Wantilan DPRD Bali, Renopn, Denpasar, Senin (3/2/2025).
Sebagai informasi, sengketa lahan ini melibatkan sekitar 280 hektar tanah di sekitar Desa Jimbaran, dengan keterlibatan investor seperti PT Jimbaran Hijau dan PT CTS. Warga setempat menuntut agar tanah yang memiliki keterkaitan sejarah dengan Kerajaan Mengwi ini dikelola oleh masyarakat, bukan oleh pihak swasta.
Jero Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Rai Dirga Arsana Putra, mengungkapkan keprihatinannya atas penguasaan tanah oleh PT Jimbaran Hijau dan PT CTS yang berdampak negatif bagi masyarakat desa.
“Saat ini lebih dari 200 KK di Desa Jimbaran tidak memiliki tempat tinggal yang layak, sementara lainnya terpaksa mencari kos-kosan di sekitar Jimbaran karena lahan untuk membangun rumah sudah sangat sempit,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun pariwisata di Jimbaran berkembang pesat, warga justru terpinggirkan dan tidak mendapatkan manfaatnya.
Sebagai respon terhadap keluhan ini, lebih dari 140 warga Desa Jimbaran membentuk Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (KAPET ADAT) untuk mengajukan gugatan Class Action terhadap sejumlah perusahaan dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali.
Sidang perdana berlangsung di Pengadilan Negeri Denpasar pada hari yang sama dengan kunjungan ke DPRD.
I Nyoman Wirama menjelaskan, “Gugatan ini melibatkan lima kelompok masyarakat, termasuk mereka yang memiliki hak atas tanah berdasarkan sertifikat desa adat, serta kelompok yang memiliki bukti sah berupa dokumen dan sertifikat hak milik.”
Para kuasa hukum juga menyoroti bahwa tanah tersebut sebelumnya telah dibebaskan untuk kepentingan umum, termasuk untuk pembangunan fasilitas KTT APEC, namun sebagian besar tanah tersebut hingga kini tidak digunakan atau dibiarkan terbengkalai.
Tanah tersebut dibebaskan pada tahun 1994 dengan alasan untuk kepentingan umum. Namun, proses pembebasan lahan melibatkan tindakan represif dan penggunaan aparatur negara, yang pada kenyataannya lebih menguntungkan kepentingan bisnis pribadi daripada proyek publik.
Setelah pembebasan tanah, sejumlah lahan dikeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kini sedang dipermasalahkan karena prosedur yang diragukan dan kurangnya pengembangan.
Pada tahun 2010 hingga 2013, SHGB tersebut diperpanjang dengan alasan untuk kepentingan KTT APEC. Meskipun demikian, sebagian besar tanah tersebut masih terbengkalai hingga saat ini, yang bertentangan dengan tujuan pembebasan lahan. Hal ini menyebabkan warga tetap mempertahankan penguasaan fisik atas tanah, meski sering kali diusir secara paksa.
Warga mendesak pemerintah Bali, serta pihak-pihak terkait, untuk menyelesaikan masalah ini dengan adil dan mengembalikan hak atas tanah kepada pemiliknya yang sah.
(jurnalis : Tri Widiyanti)