Ratusan Warga Jimbaran Ajukan Gugatan Class Action Terhadap Perusahaan dan BPN Bali
Badung, (Metrobali.com)
Sekitar seratus tiga puluh warga yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (KEPET ADAT) Desa Adat Jimbaran mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap sejumlah perusahaan dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali. Sidang perdana gugatan ini digelar pada hari Senin, 3 Februari 2025, di Pengadilan Negeri Denpasar.
Sebelum menghadiri sidang, warga yang mengajukan gugatan ini melakukan aksi unjuk rasa dengan mendatangi Gedung DPRD Bali. Dalam aksi tersebut, mereka menyampaikan permasalahan hukum yang mereka hadapi terkait sengketa tanah di Jimbaran.
Koordinator Kuasa Hukum Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (KEPET ADAT) I Nyoman Wirama menjelaskan bahwa gugatan ini melibatkan lima kelompok masyarakat yang menjadi penggugat. Kelompok-kelompok tersebut adalah:
Penyakap: Warga yang merupakan penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran dan memiliki surat pengelola dari Desa Adat Jimbaran.
Waris Penyakap: Ahli waris dari warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelola.
Pemilik Lama: Masyarakat yang memiliki hak-hak lama atas tanah tersebut atau yang pernah menguasai tanah secara fisik dengan itikad baik.
Krama Desa Adat: Masyarakat Desa Adat Jimbaran dan desa adat sekitarnya yang berkepentingan terhadap tanah yang disengketakan.
Krama Subak: Masyarakat petani tradisional yang tergabung dalam Subak Abian yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi negara.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh warga berkaitan dengan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah di Jimbaran yang telah dibebaskan oleh pemerintah pada tahun 1994 dengan alasan untuk kepentingan umum. Namun, pembebasan tanah tersebut dilakukan dengan cara-cara represif dan kekerasan, menggunakan aparat negara.
Kekhawatiran muncul setelah pembebasan tanah yang awalnya dimaksudkan untuk kepentingan umum tersebut kemudian disalahgunakan untuk kepentingan bisnis pribadi. Di atas tanah yang dibebaskan tersebut, terbit sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang diduga melibatkan Kantor Wilayah BPN Bali dalam proses penerbitannya.
Meski warga sudah menguasai tanah tersebut dengan itikad baik selama puluhan tahun, tanah tersebut malah beralih haknya ke pihak lain melalui penerbitan SHGB yang tidak sah menurut penggugat.
Luas tanah yang menjadi objek sengketa mencapai 280 hektar, yang sebagian besar dari tanah tersebut diterbitkan SHGB pada periode 2010 hingga 2013, yang diduga berkaitan dengan pembentukan sarana dan prasarana untuk acara KTT APEC. Namun, meskipun tanah tersebut sudah diperpanjang melalui SK KTT APEC, sebagian besar lahan tersebut tetap terlantar dan tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti yang semula dijanjikan untuk kepentingan umum.
“Walaupun warga telah sering diusir secara paksa dengan cara kekerasan, mereka terus mempertahankan penguasaan fisik atas tanah tersebut. Warga menganggap bahwa perpanjangan HGB yang dilakukan pada 2010 hingga 2013 adalah tindakan yang melanggar hukum, karena tanah tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi segelintir pihak,” ungkap I Nyoman Wirama dalam keterangan resminya, Minggu (2/2/2025).
Melalui gugatan ini, imbuhnya warga meminta pengadilan untuk menyatakan bahwa sejumlah perusahaan dan Kantor Wilayah BPN Bali telah melakukan perbuatan melanggar hukum terkait dengan pembebasan tanah dengan kekerasan, penelantaran lahan, serta perpanjangan SHGB yang tidak sah.
Penggugat juga memohon agar pengadilan menyatakan bahwa tanah yang telah dibebaskan dan diterbitkan SHGB tersebut seharusnya kembali kepada Negara, karena tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Warga menuntut agar hak mereka atas tanah tersebut diakui kembali, dan mereka berhak untuk memperoleh kembali tanah yang sebelumnya mereka kuasai dengan itikad baik.
Menurut penggugat, pembebasan tanah secara paksa dan penggunaan kekerasan terhadap warga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Undang-Undang Dasar 1945. Penggusuran paksa ini berpotensi melanggar hak atas kehidupan yang layak, tempat tinggal yang layak, serta lingkungan hidup yang sehat.
Selain itu, penggugat juga menyoroti pelanggaran hukum terkait penelantaran lahan. Berdasarkan peraturan pemerintah, lahan yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemegang hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai lahan terlantar, dan hal ini dapat mengubah status hukum lahan tersebut.
“Melalui gugatan ini, warga berharap agar pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, dengan menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dan BPN Bali terkait dengan tanah di Jimbaran adalah perbuatan melanggar hukum,” tandasnya.
Mereka juga berharap agar tanah tersebut dikembalikan kepada negara dan hak mereka atas tanah tersebut diakui.
Sebagai informasi pengadilan telah menetapkan sidang pertama esok Senin (3/2/2025) yang akan dilanjutkan dalam waktu dekat untuk mendalami perkara ini lebih lanjut.
(jurnalis : Tri Widiyanti)