Laut Dikavling, Dimana Negara? Langkah Presiden Memerintahkan Angkatan Laut untuk Membongkar Pagar Laut, Patut Dipuji
Ilustrasi
Jakarta, (Metrobali.com)
Harian Kompas, Minggu, 19 Januari 2025, membuat berita head line di halaman satu, bertajuk: Pembongkaran Pagar Laut Selesai Paling Cepat 10 hari. Pembongkaran pagar laut di Tangerang dengan panjang 30,16 meter dilakukan oleh Angkatan Laut atas perintah Presiden Prabowo.
Diberitakan oleh Kompas, menurut penuturan seorang nelayan yang diajak serta oleh angkatan laut dalam pembongkaran ini, dalam pemagaran laut itu, ternyata ada yang berbentuk kotak berupa pengkavlingan laut. Harian ini, di lapangan memperoleh informasi, laut yang diklaving ini, telah diterbitkan SHM (Surat Hak Milik).
Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, pengkavlingan laut menjadi hak milik tersebut patut diberikan sejumlah catatan terhadap fenomena aneh ini.
“Laut dikavling semenjak 6 bulan lalu, sepanjang 30,16 meter, tidak ada pejabat publik tahu dan berani bertanggung-jawab terhadap keberadaannya dari Bupati , Gubernur dan Menteri Terkait. Publik bertanya dimana negara?”.
Dikatakan, perintah langsung pembongkaran oleh Presiden, sekaligus panglima tertinggi TNI, memberikan indikasi ada kekuatan yang powerful, sehingga jajaran birokrasi sampai Wakil Presiden tidak berkutik menghadapi pagar laut yang “ajaib” ini.
“Membenarkan dugaan publik, ada kekuatan oligarki yang bisa mendikte pengambilan keputusan publik, dan atau keputusan yang merupakan kolusi penguasa – pengusaha,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, dari perspektif kepemimpinan, perintah langsung pembongkaran oleh Presiden, karena mungkin Presiden melihat “sense of urgency” dari pembongkaran ini, yang kalau terlambat ditangani bisa menjadi pemicu konflik sosial dengan nuansa etnis dan kesenjangan ekonomi akut.
Dikatakan, kabinet Gemuk, dengan 46 lembaga setingkat menteri dan Wakil menteri, dengan jumlah personil 109 pejabat negara, ternyata tidak mampu menyelesaikan “sekadar” proyek pemagaran laut, dan wacana penanganan proyek ini nyaris mirip “opera sabun” yang memalukan, sudah semestinya Presiden segera menata ulang kabinet secara “progresif revolusioner”.
Menurutnya, menangani pagar laut saja kabinet Merah Putih tidak mampu, bagaimana kalau terjadi casus belli berupa perang di Laut China Selatan, Semenanjung Korea, atau Selat Taiwan yang punya potensi memicu perang nuklir di kawasan dan bahkan ancaman Perang Dunia Ketiga?
“Krisis iklim begitu nyata, yang punya potensi besar melahirkan krisis pangan dan energi akut dengan ketidak-stabilan sosial tinggi?. Sudah tentu negara tidak bisa berharap banyak dari kabinet yang didominasi oleh politik balas budi, dengan kompetensi yang diragukan publik,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan.
Jurnalis : Sutiawan