Jakarta, (Metrobali.com)

Presiden Prabowo, putra ke dua Prof.Soemitro, dalam sebuah bukunya tentang visi masa depan Indonesia, dalam rangkaian kampanyenya sarat dengan spirit nasionalisme ekonomi, pemikiran politik yang sosialistik yang merupakan penjabaran dari ide besar sosialisme.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, Jumat 17 Januari 2025 menanggapi Menjelang Reshufle Kabinet Merah Putih.

Dikatakan, sejalan dengan spirit UUD 1945 pasal 33 dan pasal 35. Ucapan keras Presiden Prabowo tentang: swasembada pangan, keberpihakan pada kaum buruh, korupsi membuat rakyat menderita, program makan siang bergizi yang harus disukseskan bagi anggota kabinet yang menghalangi silakan mundur.

“Tangis sedu sedan Presiden terhadap keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam mensejahterakan guru, mengindikasikan idealisme dan jiwa sosialis dari Presiden ke 8 Indonesia,” kata I Gde Sudibya.

Masih menurut I Gde Sudibya, mengenang Jejak Pemikiran Prof.Soemirto yang di era tahun 70’an dan tahun 80’an dijuluki Bhagawan Ekonomi Indonesia, menyebut beberapa catatan.

Dikatakan, strategi pembangunan ekonomi yang punya kecenderungan kuat didominasi oleh ekonomi pasar kapitalistik, dan rentan menimbulkan kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan ekonomi, harus dikoreksi melalui kehadiran negara, dengan kebijakan pro orang miskin -preferential for the poor-. Kebijakan fiscal, kebijakan moneter, kebijakan perdagangan yang mendukung pengembangan industri dalam negeri.

Menurutnya, di era tahun 1980’an, terjadi “geger nasional”, atas ucapan Prof.Soemitro: korupsi di negeri diperkirakan 30 persen dari total APBN, tidak kurang dari Mensesneg Moerdiono memberikan bantahan. Persepsi publik di era itu, bantahan Moerdiono adalah pendapat Presiden Soeharto.

Saat itu, Prof.Soemitro memberikan klarifikasi berupa, angka 30 persen berasal dari perhitungan angka makro ekonomi ICOR (Increamental Capital Out Put Ratio), sehingga diperkirakan angka 30 persen “kebocoran” pembangunan ini, karena: korupsi 10 persen, kesalahan perencanaan 10 persen dan borosnya biaya pemeliharaan proyek 10 persen.

“Pemikiran Prof. Soemitro sangat jelas, jika pertumbuhan ekonomi berkualitas ingin dicapai, harus ada dampak menetes kebawah – tricle down effect-, maka pembangunan mesti direncanakan dengan baik, korupsinya terkendali, serta pemborosan -waste of resources- rendah. Pemikiran Bhagawan ekonomi sampai hari ini tetap relevan,” kata ekonom I Gde Sudibya.

Menurut I Gde Sudibya, tantangan Presiden Prabowo dalam melakukan “pembongkaran” kabinet di 100 hari pemerintahannya, merujuk spirit konstitusi, inspirasi dari pemikiran ekonomi sang ayah, serta idealisme yang dimiliki Presiden.

Prabowo kata I Gde Sudibya, mestinya menata ulang kabinet berbasis kompetensi, terlebih-lebih di tim ekuin (ekonomi, keuangan dan industri), kabinet para akhli (zaken kabinet).

Dikatakan, kebijakan ekonomi Prabowo semestinya meniru kebijakan yang dilakukan sang ayah ketika menjadi Menteri Perdagangan di era tahun 1970’an, kebijakan perdagangan dalam dan luar negeri yang terintegrasi dengan kebijakan pengembangan industri dalam negeri, dengan alasan dalam bahasa Prof.Soemitro “infant industry argument”, industri yang baru bertumbuh wajib dilindungi dari sisi perdagangan untuk menjamin pasar bisa bertumbuh secara sehat.

Menteri Perdagangan saat itu, menerbitkan aturan ekspor impor yang ketat, untuk menjamin, perdagangan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Kebijakannya Menteri perdagangan di era itu, menurut sejumlah pengamat tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Menteri Perdagangan secara periodik memberikan keterangan pers secara komprehensif terhadap kebijakan yang diambil, yang bisa dikaji publik keakuratan kebijakan yang diambil.

Menurutnya, strategi pembangunan semestinya dikaji ulang, “membumikan” spirit sosialisme dalam UUD 1945, memberikan bukti sejarah yang berupa cita-cita sosialisme diperjuangkan serius di negeri ini, sekaligus Presiden Prabowo menunaikan janji-janji kampanyenya.
Dalam bentuk: mengkaji ulang proyek pemerintahan sebelumnya, infrastruktur, IKN dan sejumlah PSN yang sarat kontroversi yang tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat.

“Kabinet gemuk yang harus dirampingkan, untuk meningkatkan efisiensi APBN yang sangat “cekak”, mempermudah komunikasi, pembuat kepemimpinan menjadi lebih efektif dalam menjalankan program-programnya,” kata I Gde Sudibya, ekonon.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan