Lurah Benoa Diduga Hambat Investor Investasi di Nusa Dua, AMD Datangi BPKAD Bali, Terkejut Aset PT AMD yang Sah Diklaim Aset Pemprov Bali
Foto: Komisaris PT AMD, Dr. Anak Agung Ngurah Manik Danendra, S.H., M.H., M.Kn., saat mendatangi kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali pada Selasa 14 Januari 2025.
Denpasar (Metrobali.com)-
Sengketa kepemilikan tanah yang melibatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akhirnya terkuak ke publik membuka tabir gelap persoalan dugaan keterlibatan mafia tanah yang juga melibatkan oknum pejabat pemerintahan. Kali ini PT Agung Manara Development (PT AMD) yang mengaku menjadi korban dari sengkarut benang kusut dan ketidakjelasan status tanah yang diklaim sebagai aset milik Pemprov Bali. Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali yang mengelola keuangan dan aset daerah kini tengah menjadi sorotan publik.
“Jelas kami sangat dirugikan ketika tanah kami diklaim sebagai aset milik Pemprov Bali. Konsorsium kami sudah dihambat dengan kondisi ini. Jelas ada kerugian harian yang sangat besar karena proses bisnis kami terhabat akibat ketidakpastian. Kami bisa menghitung kerugian hariannya dan ini catatan buruk bagi iklim investasi di Bali,” kata Komisaris PT AMD, Dr. Anak Agung Ngurah Manik Danendra, S.H., M.H., M.Kn., saat mendatangi kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali pada Selasa 14 Januari 2025 untuk meminta kejelasan mengenai status tanah tersebut.
PT Agung Manara Development (PT. AMD) adalah perseroan atau perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang real estate. PT AMD diketahui memiliki beberapa aset bergerak dan tidak bergerak diantaranya lahan perkebunan 150 hektar di Banyuwangi Jawa Timur dan 2,120 hektar di Benoa, Nusa Dua, Bali.
Saat ini PT Agung Manara Development (AMD) tengah menghadapi kendala serius terkait dengan status legalitas tanah yang baru saja mereka beli, yang terletak di Lingkungan Banjar Mumbul, Desa Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Kendala tersebut muncul setelah pihak Lurah Benoa, I Wayan Karang Subawa, S.Pd., M.AP., meminta klarifikasi mengenai status tanah tersebut apakah masuk dalam aset inventaris Pemerintah Provinsi Bali (Pemprov Bali) atau bukan. Permintaan ini menghambat proses pengajuan sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) untuk tanah seluas 2,12 hektar yang sudah dibeli PT AMD.
Tanah yang dimaksud tercatat dalam persil DN 56 Benoa 132 dengan luas 2,12 hektar yang berdampingan dengan tanah kehutanan Tahura yang telah dibeli sesuai dengan Akta Pelepasan Hak atas Tanah yang telah dibuat Sah di hadapan Pejabat Notaris di Denpasar. Namun, sampai saat ini, pihak PT AMD belum dapat melanjutkan proses pengajuan SHGB karena adanya keraguan terkait status aset tersebut yang diklaim sebagai aset Pemprov Bali. Hal ini memunculkan permasalahan yang mengarah pada potensi terjadinya sengketa administratif yang dapat menghalangi pengembangan proyek yang telah direncanakan oleh perusahaan.
Dalam upaya untuk mencari solusi dan memperjuangkan haknya, pihak PT AMD mendatangi kantor BPKAD Bali pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali pada Selasa 14 Januari 2025 untuk meminta kejelasan mengenai status tanah tersebut. Komisaris PT AMD, Dr. A.A. Ngurah Manik Danendra, M.H., MKn, yang akrab disapa Agung Manik Danendra AMD menegaskan bahwa pihaknya sudah melakukan prosedur verifikasi yang sangat teliti sebelum melakukan pembelian tanah tersebut, termasuk berkoordinasi dengan berbagai instansi terkait, seperti Kantor Kehutanan Provinsi Bali dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung, yang telah memberikan persetujuan agar proses pengajuan SHGB bisa dilanjutkan.
Agung Manik Danendra AMD menyayangkan sikap Lurah Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Wayan Karang Subawa yang dinilai malah menghambat proses pengajuan SHGB tersebut. Lurah Benoa dianggap sedang bermain petak umpet lempar batu sembunyi tangan. Proses SHGB PT AMD dibuat muter- muter dan PT AMD menghadapi kendala baru yang datangnya justru dari pihak kelurahan yang meminta kejelasan apakah tanah tersebut merupakan aset inventaris Pemprov Bali atau bukan. PT AMD merasa dipersulit dan dihambat dalam berinvestasi oleh sikap Lurah Benoa.
“Seyogyanya PT AMD sudah mengantongi SK HGB sebagaimana BPN dan pihak Kehutanan memberi lampu hijau. Justru Lurah Benoa memutar haluan menanyakan ke BPKAD yang disebut BPKAD baru mencatat dan baru akan memproses tanah itu sebagai aset Pemprov,” ungkap Agung Manik Danendra AMD yang juga seorang notaris.
Terhadap persoalan tanah yang dibeli investor PT AMD, Agung Manik Danendra AMD mengaku heran dengan sikap Lurah Benoa Kuta Selatan I Wayan Karang Subawa justru mempertanyakan lahan di wilayahnya, apakah masuk aset Pemprov Bali atau tidak yang semestinya seorang Lurah harusnya sudah tahu hal itu. AMD pun menyebut “Pak Lurah seperti lempar batu sembunyi tangan alias tidak bertanggungjawab. Terhambatnya proses SHGB karena Lurah Benoa melemparkan persoalan ini ke pihak BPKAD Provinsi Bali. Lurah Benoa tidak mengerti wilayahnya atau pura-pura bego atau sengaja planga plongo atau ada udang di balik batu?,” kata Agung Manik Danendra AMD terheran-heran.
Dirinya mendorong persoalan ini harus menjadi atensi Bupati Badung terpilih untuk menempatkan Lurah di wilayah desa setempat. “Lurah yang tidak bertanggung jawab seperti ini perlu dicatat dan diatensi oleh Bupati Badung. Lurah yang seperti itu tidak pantas jadi Lurah. Yang namanya Lurah masak tidak tahu tanah di wilayahnya aset pemerintah apa tidak, pura-pura suruh menanyakan ke BPKAD, berarti ada something wrong,” kritik Agung Manik Danendra AMD.
Agung Manik Danendra AMD sebagai pemegang saham pengendali Perseroan PT Agung Manara Development (PT AMD) menyebut pihak Pemprov Bali tidak begitu paham betul status tanah. “Kapan Pemprov Bali memiliki tanah? Tidak ada Undang-Undang yang menyebut Pemprov memiliki tanah, yang memiliki tanah itu adalah orang pribadi/kelompok orang. Pemprov menguasai tanah dengan Sertifikat Hak Pakai SHP atau HPL Hak Pengelolaan Lahan. Kalau catatan itu sama seperti dengan orak-orek. Urusan tanah kok orak-orek gimana ya ini pengelolaan aset Pemprov?,” ujarnya.
Pakar hukum Agung Manik Danendra AMD pun menyebut persil DN berbeda dengan TN, Bukan berarti DN serta merta menjadi aset negara atau pemerintah. “Ini yang yang mereka tidak pahami dengan benar. Pemprov punya tanah omon-omon. Dia tidak ngerti perbedaan DN dengan tanah negara TN,” tegas notaris senior lulusan Universitas Gajah Mada Jogjakarta ini.
Dirinya lantas menyoroti BPKAD Bali yang sudah jelas tidak punya SHP dan baru akan mencatat dan mengklaim punya aset di tanah tersebut hanya dengan berbekal Perda Nomor 7 tahun 2018. “Ini sangat jauh ya! Masih ada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, masih ada UUD 1945 yang jauh lebih tinggi dari hanya sekedar Perda dan banyak juga Perda dibatalkan karena bertentangan dengan bertentangan UU. Perda dibuat di daerah masih bisa diuji dan dibatalkan. Dasar hukum tanah sudah jelas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Tidak ada ketentuan yang menyebut Pemerintah Daerah memiliki tanah. Ini yang ASN tidak pahami dengan benar,” urai Agung Manik Danendra AMD memberikan penjelasan detail.
Agung Manik Danendra AMD yang juga memiliki AMD Law Firm ini, notaris senior dan pernah viral dengan rencana gugatan Rp. 22 T terhadap Gubernur Bali Wayan Koster menyebut persoalan tanah ini masih ada ruang untuk mediasi sebelum masuk ke ranah hukum di Pengadilan. Pihaknya membuka peluang mediasi tersebut karena memaklumi ketidakmengertian ASN dalam hal pertanahan dan tidak menutup kemungkinan terjadi win-win solution dalam persoalan ini.
“Kami tidak mau merugikan Pemprov Bali dan Rakyat Bali, keinginan kuat kami agar wilayah yang kumuh itu tertata baik dan rapi, kawasan tersebut belum dikelola dengan baik. Kita duduk bersama berjuang untuk mensejahterakan Rakyat Bali,” imbuh Agung Manik Danendra AMD yang sempat digadang” warganet maju sebagai Calon Gubernur Bali di Pilgub Bali 2024 lalu.
Agung Manik Danendra AMD menjelaskan niat mulai dari PT Agung Manara Development (PT AMD) untuk menata tanah yang sedang diajukan SHGB. “Kami pasti ingin menata karena di sana ada kawasan hutan yang kumuh. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Kehutanan. Kami ingin membuat penataan yang indah untuk Bali karena banyak yang belum tergarapkan disana. Sebagai contoh, di sebelah depan masih puluhan hektar tanah kehutanan tahura yang belum dikelola. Makanya tadi saya tawarkan kerjasama kepada Pemprov bagaimana win-win solutionnya dengan baik. Tapi malah justru dijawabnya beda,” tuturnya.
Dalam kasus ini pihaknya pun selaku masyarakat tidak diberikan kejelasan, tidak ada transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Provinsi Bali, dalam hal ini BPKAD. Pihaknya juga menyoroti banyak aset Pemprov Bali yang tidak dimanfaatkan secara jelaas untuk mensejahterakan masyarakat Bali.
“Ini tidak jelas. Rakyat Bali, Bali itu sugih. Kenapa sekarang Pemprov Bali tidak bisa mensejahterakan masyarakat Bali padahal asetnya banyak? Malahan bersengketa sekarang asetnya dan 4000 aset katanya bersengketa, blunder semua. Kalau sampai saya menggugat, mungkin akan lebih banyak lagi rakyat Bali yang ikut menggugat. Karena apa? Karena kapan Pemerintah Provinsi Bali punya aset hak milik,” tegasnya lagi.
Agung Manik Danendra AMD menegaskan tentu akan melakukan langkah hukum jika mediasi atau win win solution yang ditawarkan tidak digubris oleh pihak BPKAD. PT AMD mengungkapkan bahwa mereka merasa dirugikan atas ketidakjelasan status tanah ini. Jika permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tidak ada kepastian hukum terkait status tanah yang telah mereka beli, pihak PT AMD mengancam akan mengambil langkah hukum untuk mendapatkan haknya dan melanjutkan pembangunan yang telah direncanakan di lokasi tersebut.
“Kami akan melakukan langkah hukum karena ini baru omon-omon dari pihak mereka. Ketika mereka mengirim surat kepada kami mengatakan itu aset Pemprov, sedangkan mereka tidak punya SHP (Sertifikat Hak Pakai) dan belum terdaftar, berarti itu adalah perbuatan melawan hukum. Karena Pemprov mengakui aset yang bukan miliknya. Tetapi kalau pihak Pemprov Bali mengirim surat kepada kami dan mengatakan mempunyai SHP, tentu ada dasar munculnya SHP itu dan tentu kami akan menggungat secara PTUN. Kami akan mengecek prosesnya dan progressnya, dan bisa terjadi pembatalan SHP. Nah sekarang ini dikatakan oleh BPKAD mari kita sama-sama mengajukan sertifikat, dan buktikan di pengadilan, ini kok aneh ya. Semestinya tidak seperti itu,” bebernya.
“PT AMD telah dirugikan secara materiil dan immaterial. Kami akan gugat Perbuatan Melawan Hukum PMH ganti kerugian Rp. 2,1 Triliun. Pemprov mengaku punya asaet tapi nggak punya SHP. Mengaku tanpa dasar yang jelas kan PMH (onrechmatige overheidsdaad),” tegas Agung Manik Danendra AMD.
Pihaknya mendorong harus ada reformasi BPKAD karena ini terkait pengelolaan aset dan keuangan daerah. “Pemprov ini perlu membenahi BPKAD. Tanah belum ada SHP kok diklaim. Sekarang tanya orang hukum tanah, yang disebut sudah memiliki aset itu adalah sudah bersertifikat. Tapi ini kan belum. Baru kone, saru gremeng, tidak jelas. Terus diklaim adalah aset. Ya jelas kita gugat, bisa ke pengadilan umum. Kalau ada kejelasan itu aset Pemprov kita tanya pengelolaannya bagaimana, keuangannnya bagaimana, tapi tidak bisa dijawab dan dijelaskan,” ungkapnya.
“Kalau sekarang masyarat mendengar seperti ini, ada aset-aset yang mungkin masih milik masyarakat, kelompok masyarakat adat yang diklaim oleh Pemprov Bali, pertanyannya bagaimana tertib administrasinya Pemprov Bali,” tanya Agung Manik Danendra AMD.
AMD yang merupakan cucunda dari I Gusti Ngurah Oka Pugur Pemecutan Tokoh Legenda dua jaman, Pentjabat Landrente jaman Hindia Belanda, Pentjabat Pendaftaran Sementara Hak Milik Tanah Indonesia era Soekarno ini kembali menyebutkan tidak adanya keterbukaan dalam mengelola aset dan keuangan daerah di Pemprov Bali. Kurangnya akuntabilitas di pemprov Bali bisa menyebabkan banyak kasus hukum di tubuh Pemprov Bali.
“AMD pun meyakini bahwa kalau kasus ini mencuat lebih jauh lagi, ini akan berdampak sangat buruk. Rakyat Bali akan banyak yang berteriak karena banyak lahan yang tidak jelas yang dikelola Pemprov Bali tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
“Rakyat Bali dirugikan terhadap ketidakberesan pengelolaan keuangan daerah. Pertanyaan kami juga sebagai bagian dari warga masyarakat Bali. Begitu banyak katanya aset pemprov, terus pengelolaan keuangannya kemana? Kok Pemprov sampai defisit? Tidak Heran juga apa yang disebut BPKAD, banyak aset Pemprov yang kalah berperkara di Pengadilan. BPKAD sendiri menyampaikan tanah yang sudah berSHP Pemprov Bali banyak yang kalah di pengadilan. Disebutkan banyak aset Pemprov yang kalah berperkara, yang berSHP saja kalah apalagi yang baru akan dicatat,” tutup Agung Manik Danendra AMD.
Sementara itu, BPKAD Bali, yang diwakili oleh Kepala Bidang Pengelolaan Barang Milik Daerah, Made Arbawa, memberikan penjelasan terkait dengan status tanah tersebut. Arbawa mengungkapkan bahwa Pemprov Bali memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2018 yang mengatur mengenai penguasaan tanah milik Pemprov Bali. Dalam perda tersebut, tanah yang dikuasai oleh Pemprov Bali dibagi menjadi beberapa kategori, termasuk sawah negara (SN), daratan negara (DN), dan sawah jabatan (SDJ).
Dari catatan yang dimiliki oleh BPKAD Bali, tanah yang tercatat dalam persil DN 56 memiliki luas 2,8 hektar, sementara tanah yang dibeli oleh PT AMD tercatat dalam persil DN 56 dengan luas 2,12 hektar. “Kami memiliki data yang cukup mengenai tanah yang terdaftar di Pemprov Bali, dan kami tidak tahu apakah tanah yang dibeli oleh PT AMD itu berada di lokasi yang sama dengan tanah milik Pemprov Bali. Kami berharap ada kejelasan mengenai hal ini, dan mudah-mudahan lokasi tanah yang dibeli berbeda dengan tanah yang tercatat di inventaris Pemprov Bali,” jelas Arbawa.
Namun, jika ternyata kedua bidang tanah tersebut berada di lokasi yang sama, maka hanya ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Pemprov Bali untuk menghapusnya dari daftar aset. Pertama, jika ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa tanah tersebut harus dihapuskan dari inventaris, atau kedua, jika ada perintah berdasarkan undang-undang yang mengharuskan tanah tersebut dikeluarkan dari aset Pemprov Bali.
Arbawa juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sekitar 606 bidang tanah yang dikuasai oleh Pemprov Bali masih belum bersertifikat, termasuk salah satunya tanah yang terdaftar dalam persil DN 56. “Memang ada beberapa tanah milik Pemprov Bali yang belum bersertifikat, dan tanah yang menjadi sorotan ini termasuk salah satunya. Kami akan terus berupaya agar proses sertifikasi tanah dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Arbawa.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa setiap masalah hukum terkait dengan tanah milik Pemprov Bali harus diselesaikan oleh Tim Hukum yang ada di BPKAD, dan segala langkah selanjutnya akan mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. “Jika memang ada keputusan pengadilan yang sah atau perintah undang-undang yang mengharuskan penghapusan tanah ini dari inventaris Pemprov Bali, kami akan melaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut,” tambah Arbawa.
Sementara itu Lurah Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Wayan Karang Subawa belum berhasil dimintai konfirmasi dan keterangan atas persoalan ini dan atas kekecewaan pihak PT Agung Manara Development (PT AMD) yang merasa dipersulit dan dihambat dalam berinvestasi. Hingga berita ini diterbitkan, Lurah Benoa belum menjawab permintaan konfirmasi dan wawancara dari wartawan. (dan)