I Made Gami Sandi Untara,S.Fil.H.,M.Ag.

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Bali telah dikenal sebagai destinasi wisata budaya yang mengusung harmoni dan toleransi berbasis tradisi Hindu. Adanya wacana Kembali untuk konsep wisata halal dapat menciptakan ketidaksesuaian dalam branding pariwisata di Bali yang dapat merugikan citra Bali secara global sebagai destinasi yang memadukan keindahan alam dengan budaya Hindu. Branding ini sudah lama mengakar dalam promosi internasional. Penerapan wisata halal akan menciptakan dualitas yang membingungkan wisatawan, terutama mereka yang mencari pengalaman budaya otentik.

Dewan Pimpinan Daerah Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali kembali menegaskan sikapnya menolak konsep atau labeling wisata halal yang diwacanakan. Wakil Ketua Bidang Kelembagaan dan Komunikasi Publik, I Made Gami Sandi Untara, S. Fil.H., M.Ag., menegaskan hal tersebut pada Selasa 24 Desember 2024 di Denpasar. Menurut dia, Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 menetapkan bahwa Bali menganut pariwisata berbasis budaya. Pariwisata budaya ini berlandaskan pada filosofi Tri Hita Karana (harmoni manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama). Konsep ini menekankan pelestarian budaya lokal, adat istiadat, dan tradisi masyarakat Bali yang berakar pada agama Hindu. Wisata halal yang memiliki pendekatan universal berbasis agama tertentu dapat mengaburkan nilai-nilai budaya lokal yang menjadi ciri khas pariwisata Bali. Konsep wisata halal yang mengutamakan standar berbasis agama tertentu, dapat menggeser fokus ini, sehingga Bali kehilangan identitas pariwisata uniknya.

Perda ini juga menetapkan standar penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya yang mengintegrasikan seni, adat, tradisi, dan agama Hindu sebagai elemen utama. Wisata halal tidak termasuk dalam standar ini dan berisiko mengubah arah kebijakan yang telah ditetapkan karena wisata halal sering kali membawa perubahan signifikan pada pola konsumsi, tata kelola fasilitas, dan gaya hidup yang cenderung homogen. Hal ini dapat menggeser elemen-elemen unik Bali yang telah dilestarikan melalui kearifan lokal.

Ditambahkannya, UU No. 10 Tahun 2009 menegaskan pariwisata harus memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, menghormati nilai budaya, agama, dan kearifan lokal. Wisata halal di Bali berpotensi mengganggu harmoni masyarakat setempat yang telah lama mengintegrasikan budaya Hindu dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pariwisata.

Penerapan konsep wisata halal di Bali berpotensi memicu perdebatan dan konflik sosial karena tidak sejalan dengan tradisi serta nilai-nilai lokal yang berakar pada keberagaman budaya dan harmoni sosial, yang telah menjadikan Bali sebagai destinasi budaya unik di mata dunia, lebih jauh konsep ini dapat mengurangi daya tarik bagi wisatawan non-Muslim yang ingin menikmati budaya asli dan tradisi Hindu di Bali, mengancam juga keberlanjutan tradisi religius seperti odalan di Pura, upacara ngaben dan ogoh-ogoh, serta melemahkan ekonomi lokal berbasis kearifan tradisional, termasuk UMKM di Bali seperti kuliner berbahan babi (lawar, babi guling), kerajinan berbasis simbol Hindu, dan pakaian adat, menjadi salah satu penyumbang besar dalam sektor pariwisata. Wisata halal dapat membatasi permintaan atas produk-produk ini karena tidak sesuai dengan preferensi wisata halal.

Konsep wisata halal mungkin cocok di wilayah lain tetapi penerapannya di Bali dapat merusak harmoni budaya, ekonomi, dan sosial yang telah terbangun selama ini.

Terkait dengan penolakan ini, Gami Sandi Untara menegaskan, DPD Prajaniti Bali, pada waktu periode pemerintahan sebelumnya yakni tahun 2019, telah dengan tegas menyuarakan penolakan. Pun ketika Bu Wamenpar Kabinet Merah Putih kembali melontarkan wacana ini, pihaknya telah bersurat secara resmi ke Menpar Widiyanti Putri Wardana dan Wamenpar Luh Enik Ernawati, namun menurut Gami Sandi Untara kedua pejabat berkompeten tersebut tidak menggunakan hak jawab mereka. “Mereka kompak tidak membalas surat kami, seharusnya Bu Wamen, kalau punya etika jurnalistik yang baik, seharusnya meluangkan waktu 5 menit membalas surat yang telah kami kirimkan tanggal 3 November 2024 lalu”, ungkap Gami. Pihaknya menunggu Bu Wamen pulang kampung ke Bali pada masa liburan Natal dan Tahun baru ini untuk berdialog dengan generasi muda. “Kami sangat mengharapkan Bu Wamen bisa meluangkan waktu ketemu kami di Bali, apalagi beliau juga khan aktivifis kepemudaan”, harap Gami Sandi Untara. (RED-MB)