Renungan Raina Anggarkasih Prangbakat dan Akhir Tahun 2024 : PRAHARA DI PULAU DEWATA
Suasana Banjir di Kawasan Kuta, Minggu 22 Desember 2024
Hari ini, Selasa, 24 Desember 2024, raina Anggarkasih Prangbakat, tujuh hari lagi, tutup tahun 2024, tahun yang akan segera berlalu. Dalam sistem keyakinan Tuhan masyarakat Bali yang beragama Hindu, dikenal prinsip keberlanjutan, Tuhan sebagai pencipta (Brahma), Tuhan sebagai pemelihara (Wisnu) dan Tuhan sebagai “pemralina” dari ada menjadi tiada. Sistem keyakinan yang menggambarkan “hukum” dinamika dari kehidupan itu sendiri, “datang dan pergi”, perubahan adalah adalah keniscayaan, keberlanjutan adalah dinamika itu sendiri.
Sistem keyakinan yang membuat masyarakatnya siap berubah, semestinya cerdas merespons perubahan, melalui dan dalam spirit diri yang berelasi dengan hukum keseimbangan alam raya, berguru dari alam, melatih diri untuk mengendalikan “Sad Ripu”dan “Sapta Timira” menjadi “Jagra”,Sadar Diri dalam mengarungi lautan gelombang kehidupan.
Sadar Diri sebagai sebuah proses, di dalamnya mengandung proses mengakui kesalahan diri, kesalahan personal dan juga kealpaan sosial, yang berdampak terhadap kualitas diri dan sosial dalam mengelola dan merespons perubahan.
Sebagai sebuah renungan, Bali sedang mengalami PRAHARA, tekanan, goncangan dan bahkan badai yang punya potensi “meluluh-lantakkan” Bali dan masa depannya. Keselamatan Bali dalam ancaman. Keselamatan alam, manusia dan kebudayaan, berangkat dari rangkuman nilai peradaban dan kebudayaan yang telah berusia lebih dari 1,000 tahun. Alam mengalami kerusakan dashyat, manusianya mengalami kerapuhan karakter yang serius, kualitas kebudayaannya merosot, semakin kehilangan “taksu” nya, sekadar komoditas yang diperdagangkan.
Timbul pertanyaan kenapa prahara ini terjadi?.
Sebagai bahan perenungan, sekaligus untuk melakukan test kejujuran diri dan kejujuran sosial, pangkal penyebabnya bisa saja, menyebut beberapa, pertama, kearifan kepemimpinan di era Bali Permulaan, yang bercirikan: kejujuran, pengabdian, komitment kesejahteraan bersama, tidak mampu terserap oleh kepemimpinan Bali dewasa ini, pemimpin formal dan informal. Kedua, munculnya fenomena sosial yang tidak saja memalukan tetapi “mengerikan” dalam “dasa muka” perjudian”, dalam artian nyata dan simbol, yang telah nyaris total “dihabisi” oleh raja perempuan Gunapriya Dhamapatni, dalam konsolidasi pembentukan Desa Pakraman, dengan sistem keyakinan TRI MURTI dengan Kahyangan Tiga Nya, lebih dari 1,000 tahun lalu. “Sastra” di Pura Durgakutri, Bukit Dharma menjadi bukti sejarah, dari upaya sang raja membersihkan Bali dari kegelapan. Ketiga, Kepemimpinan spiritual di tingkat perdesaan, tidak mampu melahirkan sosok rokhniwan sekelas pakulan Sangkul Putih, yang melegenda itu, mewariskan “tetanguran” Bajra Uter”, yang sekarang tersimpan di Pura Pasar Agung ring Madyaning Toh Lakir, di atas Desa Subudi. Kualitas kependetaan Bali, bisa disimak dengan cermat, pasca kejatuhan kerajaan Gelgel dan kemudian pindah ke Semarapura. Semestinya “catatan-catatan” tua yang ada di Desa Mas, yang berelasi dengan sejarah Pura Bukjambe, tepatnya Pura Bukit Jambe, bisa sedikit menolong menjelaskan sejarah kependetaan di Pulau Dewata ini.
Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, menulis tentang agama Hindu dan Kebudayaan Bali, pengamat kecenderungan masa depan.