Ulasan Ekonomi Akhir Tahun 2024, Ketidakpastian Ekonomi Tinggi, dengan Risiko Ekonomi Politik yang tidak Kalah Tingginya
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)
Penolakan luas kenaikan PPN 12 %, memberikan indikasi rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah – social distrust – dalam kebijakan perpajakan dan pengelolaan uang negara yang pro rakyat.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan, Jumat 20 Desember 2024.
Dikatakan, kenaikan PPN yang dinilai tidak adil, di tengah daya beli masyarakat yang terus merosot, naiknya pemutusan hubungan kerja, jutaan tenaga kerja non formal yang semakin tidak jelas masa depannya, dalam lima tahun terakhir 2019 – 2024 menurut statistik resmi pemerintah, 10 juta kelas menengah telah “tersungkur” menjadi kelompok masyarakat yang menjadi rentan miskin.
“Indikasi masyarakat menengah ke bawah, yang sangat rentan daya belinya. Dikenakan kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 12%, secara psikologi bisa menaikkan laju inflasi sekitar 5%, yang akan sangat memberatkan ekonomi rakyat,” kata I Gde Sudibya.
Menurutnya, pada tekanan ekonomi berat di atas, kabinet Merah – Putih Presiden Prabowo yang gemuk, didominasi oleh balas budi politik, jauh dari persyaratan kabinet zaken yang menonjolkan teknokrasi dan meritokrasi, membuat publik, pengusaha dan juga investor luar negeri, masih “wait and see” terhadap kinerja kabinet, sehingga tetap menunda investasi.
Dikatakan, kebijakan pemberian kemudahan yang dinilai berlebihan dan bahkan memanjakan oligarki, dalam kasus PSN, Pantai Indah Kapuk II di Tangerang, Banten, Bumi Serpong Damai yang juga di Banten
Selain itu, lanjutnya contoh lain proyek sarat kontroversi di Pulau Rempang, Riau, tidak saja membuat investor ragu terhadap kepastian investasi, dan membuat protes luas masyarakat untuk penolakan proyek PSN yang dinilai tidak adil.
“Punya Potensi menaikkan suhu politik, akibat perizinan yang tidak fair dan menyinggung rasa keadilan masyarakat,” katanya.
Dikatakan, tingkat kurs rupiah, tetap “bertengger” pada ambang batas psikologis Rp.16 rupiah per 1 Dolar AS, tetapi tidak ada tanda-tanda tim ekonomi pemerintah mengambil langkah antisipasi dalam pengendaliannya, berbarengan dengan langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh Presiden Donald Trump yang dapat berdampak terhadap nilai tukar mata uang.
“Tetapi tiba-tiba publik dikejutkan, dengan berita penggeledahan oleh KPK terhadap BI termasuk ruang kerja Gubernur BI,” katanya.
Menurut I Gde Sudibya, Pengamat ekonomi paham, kondisi yang tidak lazim ini bisa berdampak serius terhadap citra, kepercayaan BI sebagai otoritas moneter di komunitas perbankan dunia, dan dalam sistem pasar uang dan modal dunia.
“Ada risiko ekonomi politik tinggi di sini, jika terjadi politisasi tinggi terhadap BI sebagai bank sentral dan otoritas moneter,” katanya.
Menurutnya, dalam geo politik global, ada potensi perang nuklir di sejumlah kawasan: Timur Tengah, Ukraina, Semenanjung Korea, Selat Taiwan, di wilayah “hot spot” Laut China Selatan, berbarengan dengan babak baru ketegangan ekonomi politik AS – China, pasca terpilihnya Donald Trump
“Terpilihnya Donald Trump, yang akan berdampak semakin tingginya “volatility” ekonomi dunia, yang akan menekan ekspor Indonesia, menyumbat investasi masuk, yang menekan pertumbuhan ekonomi. Target Pertumbuhan Ekonomi 8% menjadi sekadar ilusi,” kata Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan.
Jurnalis : Sutiawan