Revitalisasi Kebudayaan Bali, Momentum Penguatan Budaya Melawan: Arabisasi, Indianisasi, Westernisasi, Cinaisasi, dalam Lanskap Penguatan Budaya Nusantara
Denpasar, (Metrobali.com)
Kebudayaan sebatas ekspresi berkesenian, ekspresi pernak-pernik budaya yang khas, Bali telah melegenda menjadi “juara” bersama daerah lainnya: DI Yogyakarta, DKI Jakarta dan Provinsi Riau.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, pembelajar budaya, pengamat kecenderungan masa depan, Kamis 19 Desember 2024.
Dikatakan, tantangannya yang telah menjadi klasik, semenjak perdebatan Kebudayaan dari kalangan ilmuwan, budayawan dan seniman semenjak tahun 1935, Kebudayaan tidak direduksi kan sebatas ekspresi berkesenian dan “produk-produknya”, tetapi merujuk pemikiran Soetan Takdir Alisjahnana (STA), ilmuwan cum sastrawan, Kebudayaan sebagai Ekspresi Cipta, Rasa dan Karsa yang menggambarkan kualitas peradaban dan kebudayaan manusia.
Menurut I Gde Sudibya, kebudayaan mencakup rangkuman nilai holistik tentang: ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan nilai lainnya yang menggambarkan kualitas peradaban dan kebudayaan manusia.
Dikatakan, dalam pengertiannya yang sederhana, CIPTA, gambaran, bukti dari prestasi manusia dan masyarakat. RASA, kekuatan yang menstimulasi, menjadi spirit untuk lahirnya karya-karya bermutu yang menggambarkan kualitas dan semangat zamannya.
“KARSA, cara berpikir, niatan berpikir, “mind set” yang mendorong RASA yang kemudian mentransformasi menjadi CIPTA, KARYA. Dalam ungkapan Bali, penunggalan “Bayu, Sabda, Idep, mendorong bertumbuh-kembangnya ethos kerja, yang menjadi basis pengembangan peradaban dan kebudayaan,” kata Gde Sudibya, pembelajar budaya, pengamat kecenderungan masa depan.
Dikatakan, dalam perspektif pemikiran kebudayaan di atas, tantangan dalam Revitalisasi Kebudayaan Bali, untuk menjawab tantangan zamannya, melibatkan sejumlah isu penting, menyebut beberapa, pertama, pendidikan berbasis kebudayaan, untuk melahirkan insan-insan manusia berbudaya, tidak rentan dan rapuh berhadapan dengan dengan sejumlah “isme”: kapitalisme, liberalisasisme, individualisme.
Kedua, dalam era yang menurut tesis Prof.Huntington dari Universitas Harvard, yang disebut sebagai konflik peradaban berbasis SARA yang menjadi fenomena global, penguatan masyarakat secara budaya, berbasis Kearifan lokalnya yang kaya, hasil dari proses sinkretisasi yang memperkaya, membuat masyarakat Bali semakin tangguh secara budaya
Dikatakan, dalam rangkaian mutiara “ratna mutu manikam” budaya Nusantara, dalam melawan, sebut saja proses: Arabisasi, Indianisasi, Westernisasi, Chinasisasi yang punya potensi: mendegradasi, mengkooptasi, dan melumpuhkan “lokal genious” Bali. Pertemuan budaya -cultural encounter- diperlukan, tetapi harus menghasilkan proses pemerkayaan budaya -cultural enrichment-, bukan pemiskinan budaya – caltural impavorishment-.
Ketiga, pemerintah yang merepresentasi negara, punya cetak biru, peta jalan revitalisasi kebudayaan yang cerdas dan visioner, dengan “work plan” yang jelas, terbebaskan dari “politicking” yang tidak mendidik dan berdimensi kepentingan jangka pendek.
Pidato Ir.Soekarno dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian oleh sejarah dicatat sebagai hari lahirnya Pancasila, sampai hari ini tetap relevan.
Soekarno menyatakan, sebagai bangsa, penganut agama yang menjunjung tinggi kebudayaan nasional. Dalam bahasa Soekarno, bagi umat Hindu tidak mesti keindia-indian, bagi umat Islam tidak mesti kearab-araban, bagi umat Kristiani tidak mesti kebarat-baratan, tetapi menganut agama yang berbudaya Indonesia. (Sutiawan)