Ilustrasi Kemacetan

Denpasar, (Metrobali.com)-

Krisis iklim yang menimpa Bali begitu nyata, bencana hidrologi (banjir, longsor dan sejenisnya) semakin sering terjadi, dengan skala lebih besar, dengan korban jiwa dan biaya sosial ekonomi yang semakin besar pula.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, intelektual Bali, penulis buku Agama Hindu dan Kebudayaan Bali, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004.

Dikatakan, upaya antisipasi pemerintah terhadap tantangan alam adalah minimal, konversi lahan pertanian dan sejenisnya, di empat hutan utama: kawasan: Gunung Agung, Gunung Batukaru, Alas: Penulisan, Pengejaran di Bangli Pegunungan terus berlangsung.

I Gde Sudibya mengatakan, produktivitas pertanian menurun, di semua sektor pertanian dan perkebunan, rentang waktu panen raya yang semakin panjang, biaya pengelolaan pertanian semakin tinggi, dengan produktivitas yang menurun.

Menurutnya, sebagai DTW, persoalan yang tampak di permukaan begitu nyata: sampah yang tidak terurus, kemacetan lalu lintas yang semakin “menggila”, dan persoalan sosial lainnya, yang menggambarkan ketidakberhasilan pemerintahan kota, kabupaten dalam menangani penyediaan “public utilities”.

Dikatakan, investasi pemerintah pusat yang tidak terkendali, merusak lingkungan, menggerus lahan pertanian, melahirkan eksodus para pendatang, menggerus nilai budaya lokal, dan kemerosotan kualitas kehidupan secara umum.

Menurutnya, rencana jalan tol Gilimanuk – Mengwi, yang telah “didahului” dengan proyek Kawasan Ekonomi Khusus yang orientasinya liberal kapitalistik, sejumlah proyek mercu suar yang sarat kontroversi: “komersialisasi” Besakih, “ekonomisme” PKB Klungkung, motif turistik dari Menara Turyapada yang merusak bentang alam Den Bukit, diperkirakan akan menjadi pemicu lahirnya “angin puting beliung” perubahan di Bali yang tidak lagi dapat dikendalikan, di tahun-tahun pendatang.

Dikatakan, tantangan bagi keselamatan Bali dan masa depannya, mengkaji ulang rencana tol Gilimanuk – Mengwi, dengan proyek yang lebih ramah lingkungan dan lebih “manusiawi” bagi Bali, jalan lingkar luar Bali Barat, yang merupakan lanjutan jalan lingkar luar Bali Selatan – Bali Timur.

“Revisi “komersialisasi ” Besakih, manut “uger-uger”,Prasasti Besakih, untuk mengembalikan Besakih pada peran kesejarahan spiritualnya. PKB Klungkung perlu dikaji ulang besaran proyeknya, ambisi berlebihan yang melekat pada proyeknya, yang akan memberatkan APBD Bali sebut saja 5 tahun ke depan,” kata I Gde Sudibya.

Selain itu, lanjut I Gde Sudibya yang juga perlu revisi penentuan kawasan di Menara Turyapada, untuk tidak terlalu mengganggu bentang alam Segara Penimbangan – Alas Wanagiri, yang telah “digariskan”oleh Ki Barak Panji Sakti, raja Den Bukit ternama, pendiri kota Singa “Umbara” Raja, yang sekarang populer dengan kota Singaraja.

“Untuk “menyongsong” “Angin Puting Beliung” Perubahan Bali ini, yang bisa banyak memakan korban, dalam artian nyata dan simbolik, masyarakat Bali sesuai dengan sejarah kearifan budayanya yang panjang, lebih “pageh ngewangun yasa kerthi”, lebih terlatih “mulat sarira” untuk menjadi sadar diri (Jagra) menuju, astungkara, ke keselamatan (Bhadra),” katanya.

Menurutnya, sikap negatif seperti, (maaf): belog ajum, sekadar “milu-milu tuung”, dasa muka “punyah” dan “memunyah” semestinya secara ketat lebih dikendalikan, untuk kepentingan bersama, terlebih-lebih untuk generasi Bali kemudian.

Jurnalis: Sutiawan