Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, pemerhati lingkungan.

 

Rabu, 4 Desember 2024, raina Buda Kliwon Matal, sasih Kenem, Icaka 1946.
Masyarakat Bali dalam melakoni dan memaknai kehidupan, pada dasarnya “berguru” pada Alam, belajar menangkap tanda-tanda alam, mengolah dan memakanainya, diwadahi dalam pengetahuan berbasis pemikiran, kemampuan intelektualitas.

Menyebut beberapa saja ethos kerja “berguru” pada Alam ;

Pertama, mulai hari kehidupan pada saat GALANG KANGIN, bintang Tenggala berderet dan bersinar di Ufuk Timur, sekitar pukul 5.15 wita. Mulai kehidupan rutin tetapi bermakna hari ini, membersihkan halaman, memasak, memulai awal kegiatan produktif, belajar, “maturan” dengan mengucapkan doa-doa sederhana, yang umumnya berbahasa Bali, merencanakan kehidupan hari ini yang akan segera dimulai.Kemudian Galang Kangin ini, oleh sastra yang datang kemudian disebut sebagai Brahma Muhurta, waktu “terbaik” memuja Tuhan. “Satvika time”, waktu terbaik melatih diri, mengembangkan sikap, karakter SATVAM.

Kedua, pekerjaan sebagai petani yang begitu dekat dengan Alam, bahkan “mengawini” Alam, menjadi mudah menangkap tanda-tanda sasmita Alam, belajar dari vibrasi Alam, yang memberikan bentangan pengetahuan yang amat sangat kaya, meninspirasi, memotivasi, menstimulasi spirit untuk melokoni dan memaknai kehidupan. “Berguru” pada Alam, melahirkan nilai kehidupan yang membatin” dalam diri, menyebut beberapa: kejujuran, kesabaran, hidup adalah proses, keseimbangan, toleransi, kehidupan yang tidak didominasi oleh pertimbangan kemanfaatan (utilty) semata.

Ketiga, kerja pertanian, disimbolikkan dengan “Uma Duwi”, banyak tantangan yang dihadapi kalau kita “turun” ke sawah. Tidak sebatas Alam “terberi” yang disimbolkan dengan NYAKCAG, permukaan sawah yang tenang, dengan permulaan air yang rata, apapun yang dimasukkan ke dalamnya menjadi bermakna, berkontribusi terhadap kesuburan tanah, meningkatkan perolehan hasil. Banyak kontras yang dialami: iklim yang tidak bersahabat, serangan hama, yang mengganggu produktivitas, dan bahkan risiko gagal panen.

Uma Duwi, memberikan rujukan nilai untuk tahan menghadapi tantangan, dan menyiapkan sikap mental dalam menghadapi risiko. Ethos kerja yang tetap relevan, juga untuk profesi non pertanian.

Pilihan hidup untuk “berguru” pada Alam, sekarang merupakan tuntutan kesejarahan, di tengah krisis iklim yang begitu nyata. Yang dalam bahasa simbolik, disampaikan Sekjen PBB Antonio Guterres dalam sebuah konferensi internasional tentang perubahan iklim, krisis iklim telah membawa kita bersama ke “jalan tol” “neraka” iklim, dengan risiko kepunahan secara bertahap komunitas manusia dan semua spesies yang menghuni planet bumi ini.