Denpasar, (Metrobali.com)

Pengamat kecenderungan masa depan (futurelog) John Naisbitt, dalam bukunya yang begitu populer di dasa warsa 2000’an, “Global Paradox”, Paradoks Global, ekonomi semakin menyatu secara Global, tetapi identitas kultural dalam bentuk SARA semakin menguat. Naisbitt benar dengan prediksinya, sekarang identitas kultural bernuansa: suku, agama dan ras, telah menjadi fenomena Global termasuk di AS. Kemenangan Koster – Giri, bisa dilihat dari kebangkitan identitas kultural yang telah mendunia tsb.

“Masyarakat pemilih Bali, agaknya begitu sensitif terhadap wacana yang dipersepsikan mendominasi secara kultural, seperti, ide menjadikan Bali seperti “New Singapore”, atau “New Hong Kong”. Sehingga pilihan politik dijatuhkan ke mereka yang dinilai “membela” identitas kulturalnya,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004.

Dikatakan, dalam masyarakat yang mengalami anomie, kekacauan peran di masyarakat, ketidak-jelasan akan masa depan, kehidupan ekonomi yang semakin terhimpit, dengan harapan keinginan – rising expactation- yang semakin meninggi, dengan risiko frustrasi sosial, masyarakat perlu kembali ke “rumah” budayanya yang memberikan perlindungan dan rasa aman, sehingga pilihan politik 5 tahunan dipercayakan kepada pasangan ini.

Menurutnya, tantangan bagi pasangan Koster – Giri untuk memberikan “perlindungan” kultural dari masyarakat, dari invasi, “serbuan” budaya asing yang keterlaluan, bisa akibat dari kapitalisme pariwisata yang tidak lagi terkontrol, maupun limpahan dari sistem keyakinan yang trans nasional, atau “penyusupan” dari prilaku dan sistem ekonomi berbasis agama tertentu, seakan-akan negara teokrasi, yang secara de jure bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

“Seperti pariwisata halal, ekonomi berbasis syariah, yang tidak dikenal dalam kasanah keyakinan dan budaya masyarakat Bali yang beragama Hindu,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004. (Sutiawan)