Denpasar (Metrobali.com)

 

Dalam upaya mengatasi HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota Denpasar telah menerapkan program Swakelola Tipe III (ST III). Program ini melibatkan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk melaksanakan berbagai kegiatan penanggulangan dan pencegahan penyakit menular dengan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Program ini menjadi prioritas dalam perencanaan 2025 dan telah menunjukkan perkembangan signifikan.

Dua LSM, Yayasan Spirit Paramacitta (YSP) dan Yayasan Gaya Dewata (YGD), menjadi mitra pelaksana program ini. YSP bertanggung jawab atas kegiatan penelusuran LFU (Lost Follow-Up) dan notifikasi pasangan dengan anggaran Rp68 juta, sedangkan YGD melaksanakan pelatihan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, and Sex Characteristics) dan HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) bagi petugas kesehatan dengan anggaran Rp46,465 juta. Kedua program ini selesai pada 2024 dan telah dievaluasi oleh tim Dinas Kesehatan.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Nyoman Dana, menjelaskan bahwa program ini memfokuskan penjangkauan kepada populasi kunci yang berisiko tinggi terpapar HIV/AIDS, seperti orang dengan HIV (ODHIV), pengguna narkoba suntik, kelompok LSL/MSM (Lelaki Seks dengan Lelaki), transgender, dan pekerja seks. Selain itu, Dinas Kesehatan juga menargetkan masyarakat umum untuk meminimalkan penyebaran virus.

Menurut data Dinas Kesehatan, terdapat estimasi 12.000 kasus HIV di Denpasar dengan rata-rata temuan 800 hingga 900 kasus baru per tahun. Usia produktif menjadi kelompok dengan kasus tertinggi, yakni 20-29 tahun (38%) dan 30-39 tahun (35%).

“Program ST III bertujuan mencapai eliminasi HIV/AIDS pada 2030 dengan target “95-95-95,” yaitu 95% populasi dengan HIV terdiagnosis, 95% di antaranya menerima pengobatan, dan 95% mencapai viral load tidak terdeteksi,” ujar Nyoman Dana di Denpasar, Selasa (26/11/2024).

Wakil Koordinator Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Denpasar Ni Wayan Sriwiyanti mengungkapkan bahwa salah satu kendala yang dihadapi adalah rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan di kalangan ODHIV.

“Banyak pasien yang berhenti minum obat karena merasa sehat, akses obat yang sulit, atau alasan pribadi lainnya. Kondisi ini menyebabkan virus kembali aktif dan meningkatkan risiko penularan,” jelasnya.

Untuk mengatasi hal ini, Dinas Kesehatan bekerja sama dengan LSM untuk menjangkau ODHIV yang kehilangan kontak dengan layanan kesehatan.

Ditambahkan Arya dari LSM YGD bahwa selain melakukan penjangkauan, program ini juga bertujuan mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT dan ODHIV. KPA bersama LSM YGD telah melatih 20 tenaga kesehatan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang SOGIESC dan mengurangi diskriminasi di fasilitas layanan kesehatan.

Dinas Kesehatan berharap pelatihan ini dapat diperluas ke lebih banyak layanan kesehatan.

Mengingat tingginya kasus HIV di usia muda, Dinas Kesehatan Denpasar berencana meningkatkan edukasi di kalangan remaja melalui program KSPAN (Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba) di sekolah-sekolah. Selain itu, survei perilaku remaja akan dilakukan untuk memahami faktor penyebab risiko tinggi penularan HIV di kelompok ini.

Dengan sinergi antara pemerintah, LSM, dan masyarakat, Denpasar berharap dapat menekan angka kasus HIV/AIDS, mengurangi stigma, serta mencapai eliminasi HIV/AIDS pada 2030.

 

(jurnalis : Tri Widiyanrti)