Pasukan Ciung Wanara Pimpinan I Gst Ngurah Rai di Margarana/arsip

Denpasar, (Metrobali.com)-

Puputan Margarana 78 tahun lalu, telah tercatat dalam sejarah negeri ini, 92 tentara pejuang dari Resimen Ciung Wanara, di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, gugur dengan gagah berani di medan laga, darahnya membasahi Ibu Pertiwi, sebagai Kusuma Bangsa.

Menurut I Gde Sudibya, dalam perjalanan “long march” ke Gunung Agung, gambaran bobot spiritualitas dari Resimen Ciung Wanara, “nunas pematut” ring Giri Toh Langkir, bertemu dengan rakyat di sepanjang perjalanan “long march”, selalu ditemani dengan radio dengan irama musik keroncong, yang lagi populer di era itu.

“Barangkali, ini merupakan selingan hiburan, pelepas ketegangan, dalam perjuangan membela negeri dari arogansi kekuasaan penjajah, perjuangan pada garis batas antara hidup dan mati,” kata I Gde Sudibya, pembelajar sejarah kebangsaan.

Menurut penuturan Pak Item, Pak Ketut Widjana, yang memimpin pemuda pejuang Buleleng, menunggu kedatangan rombongan “long march” dari Gunung Agung, di hutan Wanagiri, sebelah Timur Pura Yeh Ketipat, Kecamatan Sukasada, rombongan Pak Rai dkk tidak tampak kelelahan dalam melakukan “dharma yatra” tsb.

Dikatakan, yang menonjol menurut penuturan Pak Item, sinar mata anggota pasukan ini, sangat tajam, tidak seperti biasanya. Berbisik-bisik dalam mengatur strategi perang gerilya, diselingi alunan sayup-sayup musik keroncong. Pertemuan terakhir dengan rombongan Resimen Ciung Wanara, karena beberapa hari kemudian, mereka semuanya gugur di medan laga Desa Marga.

Pak Djoko, pejuang kemerdekaan asal Badung, dalam sebuah percakapan pribadi dengan beliau di rumahnya di Jalan Nangka Denpasar, yang merangkap sebagai Toko Bunga Lely, awal tahun 1990″an, menkonfirmasi, umumnya para pejuang kemerdekaan punya hobi mendengarkan musik keroncong di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

“Musik keroncong, dengan sisipan pesan kebangsaan dan patriotisme pemberi inspirasi dan penjaga semangat bagi putra-putri terbaik bangsa, yang kesemuanya gugur di medan laga,” I Gde Sudibya, pembelajar sejarah kebangsaan. (Sutiawan)