Warga Keluhkan Pembangunan Pura Ibu Panti Dukuh di Bualu Telan Hibah 2 Miliar Tapi Asal-asalan, 2 Pelinggih Justru Dibiayai Swadaya
Foto: Pura Ibu Panti Dukuh di Desa Adat Bualu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung.
Badung (Metrobali.com)-
Bantuan dana hibah dari Pemkab Badung untuk Pura Ibu Panti Dukuh di Desa Adat Bualu, Kuta Selatan, Badung, menjadi sorotan warga. Anggaran sebesar Rp 2 miliar yang telah disalurkan, diduga dikelola dengan asal-asalan oleh pihak pemborong. Sejumlah warga mengeluhkan kualitas pekerjaan yang rendah, dengan bahan-bahan bekas yang digunakan, hingga pelinggih yang tidak dikerjakan sesuai proposal.
Proyek penataan Pura Ibu Panti Dukuh yang dibiayai dengan dana hibah senilai Rp 2 miliar, menyisakan kekecewaan bagi pangempon pura. Setelah serah terima, pangempon mendapati hasil pengerjaan tak sesuai perjanjian awal. Dari 19 palinggih yang dijanjikan, hanya 17 palinggih yang berhasil dibangun.
Kontrak kerja telah disepakati antara Ketua Pura Ibu Panti Dukuh, I Wayan Gatra, dan pemborong Wayan Arta, mencakup 19 bangunan pelinggih sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB). Namun, warga mengungkapkan hanya 17 pelinggih yang dikerjakan, sementara dua pelinggih lainnya, yakni Perhyangan dan Taksu, tidak tersentuh oleh pihak pemborong.
Ironisnya, pembangunan dua pelinggih tersebut akhirnya harus ditanggung secara swadaya oleh warga, dengan biaya sekitar Rp 15 juta per keluarga.
Warga juga menyayangkan tidak transparannya proses pengerjaan proyek ini. Menurut mereka, tim pengawas dan kode etik seolah menghalangi warga untuk ikut memantau jalannya proyek, padahal dana hibah ini berasal dari pajak yang menjadi hak masyarakat. Salah seorang warga mengatakan, “Pura sudah menerima Rp 2 miliar, tetapi masih ada pengeluaran swadaya, sementara kualitas hasilnya justru tidak sesuai spesifikasi.”
Menurut informasi yang dihimpun, penataan Pura Ibu Panti Dukuh diajukan untuk mendapatkan hibah Rp 2 miliar pada tahun 2023. Dalam kontrak kerja yang disepakati pada 26 Oktober 2023 antara pangempon dan pemborong, pengerjaan proyek dijadwalkan berlangsung selama 300 hari dengan tenggat waktu hingga 26 Agustus 2024.
Pengerjaan ini mencakup 19 palinggih, antara lain Palinggih Taksu Tenggeng, Pangasti Petitenget, Pangasti Dalem Taman Peguyangan, Gunung Lebah, Meru Susunan Dalem Taman Peguyangan, Gedong Sari, Hyang Ibu Panti Dukuh, Menjangan Seluang, Bale Tajuk, Paku Rabi, Pangasti Batu Pageh, Parahyangan, Taksu, Jero Gede, dan Kori Agung.
Namun, hingga saat ini hanya 17 palinggih yang telah selesai, sementara Palinggih Parahyangan dan Palinggih Taksu belum dikerjakan. Salah satu pangempon, I Made Sendra, menyatakan bahwa kualitas pengerjaan palinggih terkesan tidak sesuai harapan. Ia juga menyebutkan penggunaan bahan bangunan lama yang seharusnya diganti dengan bahan baru, sesuai dengan proposal yang diajukan sebelumnya.
“Pekerjaannya tergantung, apakah akan dilanjutkan atau tidak. Dari proposalnya, semua palinggih harus dikerjakan. Artinya, semua harus diganti, tapi yang lama malah dipakai. Saya tidak tahu kenapa, katanya nanti PUPR yang akan mengambilalih,” ujar Sendra pada Rabu (13/11/2024) seperti dikutip dari Nusa Bali.
Sendra menyebut bahwa kualitas proyek ini terburuk dibanding proyek pura lain yang didanai hibah serupa. Kecewa dengan hasil yang ada, pangempon berencana menggalang dana tambahan sebesar Rp 15 juta per kepala keluarga (KK) dari 96 KK untuk menyelesaikan penataan pura hingga sesuai standar. Dana ini ditargetkan agar upacara Melaspas yang tertunda bisa segera dilaksanakan.
Menariknya, meskipun proyek sudah dibiayai Rp 2 miliar, pihak pemborong menyatakan ada kekurangan dana sebesar Rp 141 juta.
Dengan adanya keluhan ini, warga berharap pihak berwenang segera turun tangan untuk meninjau pembangunan di lapangan. Mereka mendesak agar dana hibah dikelola secara bertanggung jawab, agar anggaran publik tidak disia-siakan atau disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab.