Langkah Presiden Prabowo Melakukan “Joint Development” dengan China untuk Natuna Utara Patut Disesalkan
Denpasar, (Metrobali.com)-
Pengamat politik I Gde Sudibya setuju dengan pendapat Guru Besar Hukum Internasional UI Prof. Hikmahanto bahwa Presiden Prabowo “keblinger” dalam penentuan politik strategis dalam menghadapi China yakni Melakukan “Joint Development” dengan China untuk Natuna Utara. Kasus politik luar negeri yang tidak pernah terjadi semenjak Indonesia Merdeka.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat kecenderungan masa depan, Selasa 12 Nopember 2024.
,”Seharusnya Prabowo meniru gaya politik Soekarno yang tidak mau didikte negara lain, tetapi menawarkan pemikiran dan idealisme cerdas, sesuai amanat konstitusi, dimana di dalamnya implisit “national interest” Indonesia,” katanya.
Dicontohkan, Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, Gerakan Non Blok (non align movement) yang memengaruhi keseimbangan kekuatan global, Ganefo pesta olah raga negara-negara Non Blok di Jakarta awal tahun 1960’an gambaran kecerdasan Soekarno dalam menata politik luar negeri.
Dikatakan, langkah yang diambil oleh Presiden Prabowo melakukan Joint Development (Pengembangan Bersama) dengan China) untuk Natuna Utara patut disesalkan.
Memperdalam persepsi dan bahkan prasangka dan kecurigaan publik, Indonesia terlalu didikte dan bahkan “membebek” kepentingan China. Semoga prasangka ini keliru, tetapi sejarah yang akan membuktikan.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping telah mengeluarkan Joint Statement pada tanggal 9 November lalu.
Dalam butir 9 dengan judul “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation” disebutkan bahwa “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims”.
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI mengatakan, menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?
Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Untuk diketahui hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari China. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan China adalah negara peserta.
Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.
Namun dengan adanya joint statement 9 November lalu berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus. Perlu dipahami Joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih.
Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia dimana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China.
Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China. Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China.
Bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terlebih lagi bila joint development ini benar-benar direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar.
Bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah China maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan.
Negara-negara yang berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan diantara negara ASEAN.
Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak China karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan.
Bila benar joint development dengan China di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah China.
Bahkan China bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada dibelakang negara adidaya yang sedang berkompetisi.
Menurut I Gde Sudibya, untuk langkah sepenting dan segenting ini, negosiasi dengan China tentang kedaulatan negara di kawasan Natuna Utara, semestinya berkonsultasi dengan DPR dan para pakar hukum laut internasional yang ada di perguruan tinggi.
Dikatakan, sebagai mantan perwira tinggi, Presiden Prabowo semestinya sangat paham, Laut China Selatan, merupakan “hot spot” tidak berbeda jauh dengan: Semenanjung Korea, Selat Taiwan, Timur Tengah, Ukraina, yang bisa menjadi pemicu casus belli Perang dunia Ketiga. Di samping posisi Laut China Selatan yang “beririsan” dengan Selat Malaka, jalur pelayaran yang merupakan “jantung” ekonomi negeri ini.(Sutiawan)