Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)-

Kontroversi Proyek Bandara Bali Utara, Potensi Besar Sumber Daya Buleleng. Isu rencana Bandara Bali Utara dan upaya penyeimbangan pembangunan Bali Utara – Bali Selatan, dapat diberikan beberapa pertimbangan.

Menurut ekonom, pengamat ekonomi Bali dan pemerhati lingkungan, I Gde Sudibya, dalam studi pembangunan dinyatakan proyek besar, sebut saja Bandara bukanlah panasea obat ” cespleng” semua “penyakit”, yang bisa mengatasi pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan.

Dikatakan, perencanaan yang kurang matang, bisa menjadi bumerang, bisa membuat kemiskinan bertambah dan kesenjangan sosial semakin meluas, karena banyaknya tenaga kerja luar masuk sebagai eksodus.

Mengenai lokasi, lanjutnya, Buleleng dikenal dengan dataran rendah yang terbatas, pinggiran laut langsung “menabrak” Bukit, dari Tejakula di Timur sampai Bantiran di Barat, sehingga menjadi kurang layak dari keselamatan teknologi penerbangan.

Di buat di laut pun, katanya risiko kerusakan lingkungannya super tinggi, merubah bentang alam, merusak ekosistem bio data laut, risiko hancurnya pinggiran pantai Bali Utara dan Bali Timur, yang biaya pemulihannya sangat besar.

“Dari para pakar lingkungan kita memperoleh pengetahuan, kerusakan lingkungan yang fatal, apalagi di laut, tidak bisa lagi direhabilitasi,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, pendekatan baru pembangunan di era krisis iklim, mutlak mempertimbangkan keselamatan lingkungan, etika lingkungan wajib diikuti, “enviromental friendly development”. wajib diikuti.

Dikatakan, Buleleng yang punya keunggulan dalam sumber daya alam dan sumber daya kultural, mesti merumuskan program aksi mengkapitalisasi keunggulan ini dengan cara matang, tidak sekadar wacana gampangan bangun Bandara, tanpa kejelasan amdal, studi kelayakan yang kredibel.

Beberapa surat laporan dari Resident Bali Lombok ke pemerintahan pusat Hindia Belanda di Batavia, menyatakan (sederhananya), masyarakat pesisir Bali Utara adalah masyarakat yang begitu terbuka dengan perubahan, dan punya potensi besar untuk bertumbuh, sehingga design rencana jalan oleh pemerintahan Hindia Belanda, dari Surabaya – Pantura Bali – NTB – NTT.

Dikatakan, dipilihnya Singaraja sebagai ibu Kota Soenda Ketjil di awal masa kemerdekaan, diperkirakan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda di atas. Buleleng punya potensi besar untuk dikelola secara lebih cerdas.

Gelising cerita, pariwisata Bali dimulai tahun 1920’an, turis pertama rombongan Belanda berlabuh di pelabuhan Buleleng, berkunjung ke Tejakula dan Kintamani.
Pengelana Spanyol Michel Covarubias, mendarat di pelabuhan Buleleng tahun 1935.

Menulis buku yang melegenda “Island of Bali” buku pertama yang menyebar di Eropa tentang Bali. Buleleng punya potensi besar, mesti dikelola secara cerdas dan visioner, bukan dengan cara gampang, apalagi dengan agenda terselubung “vested interest orang perorang. (Sutiawan)