Foto: Jero Gede Subudi , aktivis lingkungan sekaligus Ketua Umum dan Pendiri Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH).

Denpasar (Metrobali.com)-

Bhagawan Siddhi Mantra menjaga kesucian Bali dengan memisahkan Bali dari pulau lainnya. Kini Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura terancam dengan keserakahan para oligarki melalui rencana megaproyek ambisius Bandara Bali Utara.

Bali kini bergetar. Pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto pada pertemuan di Rumah Makan Bendega, Renon, Denpasar, Minggu 3 November 2024 mencuatkan kembali rencana pembangunan Bandara Bali Utara yang ambisius. Dengan visi “The New Singapore” atau “The New Hong Kong,” Presiden meyakinkan para tokoh Bali bahwa Bandara Bali Utara akan membawa perubahan signifikan bagi Pulau Dewata.

Tapi benarkah impian itu mampu menyatukan Bali? Ataukah hanya sekadar mimpi indah yang menguntungkan segelintir pihak seperti para oligarki?

Jero Gde Subudi, seorang aktivis lingkungan dan Ketua Umum Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH), menyuarakan keresahannya. Baginya, pembangunan ini membawa ancaman besar yang terselubung.

“Ada agenda besar oligarki di balik ini,” ucap Jero Gde Subudi. “Bali yang sejatinya ditopang oleh adat, budaya, dan alam akan terkikis oleh ambisi kapitalisme global. Ini bukan sekadar proyek bandara, jangan sampai ini menjadi megaproyek menguasai Bali,” katanya mengingatkan saat ditemui di Denpasar Selasa 5 November 2024.

Sebelumnya dalam pertemuan dengan para tokoh Bali di Rumah Makan Bendega Renon Denpasar pada Minggu 3 November 2024, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya mewujudkan pembangunan Bandara Bali Utara. “Saya ingin membangun North Bali International Airport, kita akan bikin Bali mungkin The New Singapore atau The New Hongkong, dimana pusatnya nanti kawasan ini,“ kata Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra.

Namun tak semua pihak sepakat dengan misi besar sang presiden. Banyak pihak menilai Bandara Bali Utara lebih banyak menimbulkan kerugian dan dampak negatif untuk Bali ketimbang manfaat positifnya. Dari perspektif lingkungan, Bandara Bali Utara berpotensi merusak ekosistem alam yang telah berabad-abad terjaga. Laut biru Bali yang tenang, hutan hijau yang kaya, dan tanah subur yang menjadi denyut kehidupan masyarakat lokal, kini terancam.

Aktivis lingkungan memandang bahwa pembangunan besar-besaran akan merusak lanskap dan memicu erosi nilai-nilai budaya yang adiluhung. Lebih jauh, mereka khawatir bahwa segala yang luhur dalam adat Bali akan tergeser oleh tata ekonomi pragmatis yang hanya menguntungkan investor asing.

Para tokoh budaya pun menilai bahwa kearifan lokal Bali, dengan nilai-nilai leluhur yang terpatri dalam konsep Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, akan tergerus. Nilai-nilai tersebut tak sejalan dengan pola pembangunan yang menitikberatkan keuntungan materi. Taksu Bali, dengan sejarah panjangnya, dipandang akan tergeser oleh geliat industri besar yang serba cepat dan tak peduli pada pelestarian tradisi.

Dengan rencana pembangunan Bandara Bali Utara ini, Bali tengah berada di persimpangan jalan. Bagi Jero Gde Subudi, pertanyaan kritis di publik muncul, apakah demi menjadi “The New Singapore” kita rela mengorbankan alam dan budaya Bali demi kepentingan para oligarki? Namun dirinya meyakini komitmen Presiden Prabowo untuk menjaga NKRI dan khususnya menjaga Bali masih bisa dipegang.

“Sebagai masyarakat Bali dan aktivis lingkungan bersama jaringan seluruh Bali yang puluhan tahun mengenal Presiden Prabowo sewaktu beliau menjadi Ketum HKTI, dari dulu sampai sekarang pidatonya kepada rakyat Indonesia tidak pernah berubah yaitu ingin menjaga keutuhan bangsa dan negara, menjaga kebhinekaan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil,” kata Jero Gde Subudi yang juga lama berkecimpung di organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) besutan Prabowo.

“Dengan latar belakang pidato kebangsaan yang heroik seperti itu, mari kita buktikan konsistensi Presiden Prabowo akan komit mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Mari kita buktikan apakah Presiden Prabowo akan menjaga keutuhan dan keunikan peradaban Bali, peradaban budaya Pulau Seribu Pura yang cantik indah menawan yang mempesona wisatawan mancanegara datang dan datang lagi berkunjung ini? Atau hal itu malah akan dirusak hanya karena janji kampanye semata?,” ujar Jero Gde Subudi lebih lanjut.

Jero Gde Subudi yang juga dikenal sebagai pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati, sebuah lembaga yang bergerak dalam pelestarian warisan budaya, ini mengingatkan bahwa Bali ini juga dijaga oleh kekuatan magis, oleh para leluhur Bali, para orang-orang suci, para bhagawan, para resi yang telah berbagai kekuatan spiritualnya menjaga kesucian Pulau Dewata agar tetap menjadi pulau magis yang penuh taksu.

“Bhagawan Siddhi Mantra menjaga kesucian Bali dengan memisahkan Bali dari Pulau lainnya. Mari kita jaga bersama Pulau Bali yang indah dengan Budaya adiluhungnya ini agar tidak punah karena oligarki,” katanya mengingatkan dengan nada serius.

Tokoh Bali asal Jembrana ini lantas mengungkapkan kekhawatiran mendalamnya bahwa setelah oligarki memohon kepada Presiden Prabowo untuk segera pembangunan Bandara Bali Utara, makan keserakahan para oligarki akan berlanjut. Mereka akan memohon untuk segera dibangun jembatan Ketapang Gilimanuk, jalan tol Gilimanuk-Denpasar, jalan tol Denpasar-Singaraja.

“Semua dengan alasan klasik pemerataan dan kelancaran masyarakat. Kalau ini terjadi maka punahlah peradaban budaya Pulau Seribu Pura penuh pesona ini,” tegas Jero Gde Subudi.

Dia mengungkapkan sebenarnya masyarakat Bali secara luas mengharapkan Presiden Prabowo mendapatkan laporan bahwa abrasi di sepanjang pantai Pulau Bali sudah sangat parah. Diperlukan penanggulangan bersifat segera. Begitu juga alih fungsi lahan basah, lahan kering dan hutan di Bali sudah di titik sangat mengkhawatirkan.

Kondisi tersebut akan diperparah lagi dengan pembangunan bandara baru yang setidaknya memerlukan lahan seluas 600-800 hektare, yang dapat menyebabkan alih fungsi lahan yang signifikan dan merugikan lingkungan termasuk juga mencaplok sebagian lahan hutan yang semestinya harus dipertahankan sebagai paru-paru dunia bukan dibabat habis.

Saat ini rasio hutan di Bali sekitar 22-23% dari total luas wilayahnya. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan di Bali adalah sekitar 129.000 hektar, dari total luas wilayah Bali yang mencapai sekitar 578.000 hektar. Luas hutan ini mencakup hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi.

Namun luasan hutan di Bali terus berkurang akibat urbanisasi, pembangunan, serta aktivitas pertanian dan pariwisata. Pemerintah dan organisasi lingkungan terus berupaya melestarikan dan meningkatkan kualitas hutan di Bali untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan rasio ideal luas hutan adalah 30 persen sampai dengan 40 persen. Namun kabar buruk dan ironisnya luas hutan di Bali terus menyusut tajam seperti sawah subak yang mengalami alih fungsi semakin tidak terkendali.

“Jadi apa iya hutan kita mau dibabat lagi untuk pembangunan bandara baru di Bali Utara? Ini ibaratnya mencabut paru-paru dari tubuh kita ya kita akan mati jadinya,” kata Jro Gede Subudi menyampaikan refleksi kepada para calon pemimpin sebagai sebuah alarm bahaya ketika hutan terus digunduli atas nama pembangunan yang berdalih untuk kepentingan rakyat.

Lebih lanjut Jro Gede Subudi berpendapat bahwa dampak terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bali dari bandara akan sangat kecil bahkan tidak ada jika berkaca pada kondisi sekarang dengan adanya Bandara Ngurah Rai di Bali Selatan.

“Presiden Prabowo juga harus tahu bahwa Bandara Ngurah Rai di Badung dan Pelabuhan Pelindo Benoa di Denpasar sampai hari ini tidak berkontribusi langsung ke APBD Bali, tidak ada pendapatan masuk dari keduanya untuk ke kas Pemprov Bali. Dengan UU yang ada sekarang, daerah tak punya kewenangan di sana. Ini semestinya menjadi perjuangan bersama,” ujarnya mengetuk hati Presiden Prabowo untuk menuntaskan terlebih dahulu persoalan tersebut.

Dia pun menegaskan hasil nyata terhadap kontribusi PAD atau pendapatan bagi Bali dari keberadaan Bandara Ngurah Rai di Badung atau Bali Selatan harus jelas dulu. Bukan seperti sekarang, Pemprov Bali tidak dapat pemasukan atau pendapatan langsung dari Bandara Ngurah Rai. Hal yang sama juga dikhawatirkan terjadi ketika Bandara Bali Utara dibangun.

“Bali seharusnya mendapat penghasilan yang sepadan dengan adanya Bandara dan Pelabuhan Pelindo itu, mulai dari parkir kendaraan, parkir pesawat, sampai airport yang diganti istilahnya menjadi PJP2U yang sekarang apa lagi istilahnya. Pajak itu wajib dipungut negara yang nantinya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan diambil perusahaan. Mestinya inilah yang diperjuangkan all out oleh wakil-wakil rakyat di DPR RI, Gubernur, Bupati dan Walikota demi keadilan, pemerataan dan kesejahteraan rakyat Bali,” beber Jro Gede Subudi.

“Ke depan Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa harus fokus kita urus agar ada pendapatan daerah bisa masuk dari sana untuk menambah APBD Bali. Ke depan kita memerlukan pemimpin yang punya visi besar, cerdas, berani dan rasional,” tegasnya.

Dia lantas mengingatkan pemimpin Bali ke depan jangan lagi memainkan janji-janji Bandara Bali Utara sebagai komoditi politik murahan. Ke depan pemimpin Bali harus lebih fokus dan konkret memperbanyak pembangunan shortcut untuk membuka desa-desa terisolasi, membuka destinasi wisata alam baru yang belum terjamah dan mempercepat jangkauan dari kabupaten satu dan lainnya. Adanya short cut juga akan membuka pertumbuhan ekonomi baru, minimal seperti jual beli hasil perkebunan maupun warung-warung makan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan.

Sementara itu mengenai suasana politik di Pilkada Serentak 2024 ini khususnya di Bali, Jero Gde Subudi mengingatkan dalam menyambut pesta demokrasi harus dengan suka cita. Dia mengajak mari kita saling support masing-masing calon yang diusung. Kritik saran harus diimbangi dengan tawaran solusi.

“Hindari hujatan kepada pribadi maupun kelompok. Ingat, ejekan, cemooh dan kalimat-kalimat yang bernada negatif tidak akan mampu mengubah orang yang punya potensi mengukir prestasi agar menjadi terpuruk. Tetapi kalimat yang membesarkan hati, penuh motivasi, positif, sanggup membangunkan orang yang sedang terpuruk. Memunculkan semangat, menguak harapan dan memenangkan pertarungan batin,” ajaknya penuh kebijaksanaan.

“Jadi lontarkanlah kalimat-kalimat yang mengobarkan semangat juang dan membangun harapan. Hindarilah kata-kata yang bisa memupuskan semangat dan harapan. Karena Adab Kita Tercermin Hanya Karena Satu Kalimat,” tegasnya lagi.

“Jadi mari bersama-sama kita sambut pesta demokrasi Pilkada Serentak ini dengan suka cita saling menghargai dengan berdemokrasi yang tanpa saling mendegradasi, tanpa hujat menghujat demi Bali tetap kondusif, semakin maju dan jaya menuju Bali Go Green,” pungkas Jero Gde Subudi yang sebelumnya merupakan pengusaha tambang sukses di Kalimantan dan kini mengabdikan diri di tanah kelahirannya di Bali untuk mengawal pelestarian alam lingkungan Pulau Dewata. (wid)