Jangan Coba Coba Merubah Bali Jadi “The New Singapore, Masyarakat Bali Akan Marah
Denpasar, (Metrobali.com)-
I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004 Fraksi PDI Perjuangan, setuju dengan pendapat Sugi Lanus, dengan catatan tambahan. Menjadikan Bali sebagai “The New Singapore atau The New Hong Kong,Terlalu Berlebihan, Bertentangan dengan Spirit Kebudayaan Bali.
“Jangan Coba Coba Merubah Bali Jadi “The New Singapore, Masyarakat Bali akan protes dan marah. Kita di Bali ini “melek” sastra, tidak terlalu mudah dibuat seperti “kerbau yang dicucuk hidungnya,” kata I Gde Sudibya, Selasa 5 Nopember 2024.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk membangun bandara di Bali Utara saat kunjungannya ke Denpasar, Minggu, (3/11), Presiden Prabowo bahkan menyampaikan akan membuat Bali seperti The New Singapore dan The New Hongkong.
Menurutnya, pendekatan pembangunan dengan titik fokus pada pertumbuhan ekonomi, DEVELOPMENTALISM, sudah kuno dan ketinggalan zaman, merusak alam, meminggirkan masyarakat secara ekonomi dan juga kebudayaan.
Dikatakan, pendekatan ini sudah lama ditinggalkan oleh para ekonom pengambil kebijakan, dalam perhitungan pendapatan nasional, GNP, biaya kemerosotan lingkungan harus diperhitungkan.
Ekonom kelas dunia mulai Geffrey Sach, Amartya Sen (pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1998), Joseph Stiglitz (pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2001) telah mengingatkan dengan keras, bahaya dari “ideologi” developmentalism.
Selain itu, lanjut I Gde Sudibya, bahwa Ekonom senior negeri ini Emil Salim terus mengingatkan bahaya dari Develomentalism semenjak beliau menjadi Menteri Lingkungan Hidup di era Orde Baru.
Dikatakan, di era krisis iklim dewasa ini, merujuk ucapan Sekjen PBB Antonio Guterres dalam sebuah forum dunia tentang Lingkungan, menyatakan: dunia memasuki jalan tol “neraka ” iklim, yang sangat membahayakan masa depan planet dan penghuninya. Kesepakatan dalam pengendalian suhu bumi oleh PBB, termasuk Kesepakatan Paris 2016, telah menjadi kesepakatan dunia, termasuk Indonesia.
Singkat kata, lanjut I Gde Sudibya, strategi pembangunan yang bersahabat pada alam, Environmental Friendly Development menjadi sebuah keniscayaan.
“Ini sangat sesuai dengan basis nilai pembangunan Bali yang telah mentradisi, dengan cirinya: sosialisme religius dan sangat respek pada Alam,” katanya.
Dikatakan, Bali semenjak tahun 1970, telah meletakkan dasar bagi PARIWISATA BUDAYA sebagaimana tertuang dalam Perda tahun 1974 tentang Pariwisata Budaya, telah amat banyak diulas dan ditulis.
Intektual Bali, pakar ergonomi tamatan universitas di Belanda, pakar pariwisata, dengan keras, lantang konsisten, memperjuangkan strategi Pembangunan Bali Berkelanjutan -Bali Sustainable Developmrnt- sampai hari-hari beliau berpulang ke “jagat sunia”. Putra putra dari mendiang Ir. IB Putra Manuaba, anggota DPR Nasionalis pertama dari Bali hasil Pemilu tahun1955 .
Menurut penuturan rekan Nyoman Glebet, saat mendampingi para senior, menyebut beberapa: Nang Lecir, Gusti Ketut Kaler, Ketua Gedong Kertya Singaraja,tim Sceto Perancis yang akan mendisign industri pariwisata, terkaget-kaget dan terkejut takjub dengan kehebatan sastra yang ada di Bali.
Dikatakan, Design pariwisata Sceto, terutama tentang kawasan Nusa Dua, amat sangat banyak mengambil ide-ide besar dari para “pengelisr” di atas.
Menurutnya, membangun Bali ke depan janganlah a historis, simak saja, jejak pemimpin Bali terdahulu, menyebut beberapa: Goesti Ketut Poedja, Soekarmen – Gusti Ngurah Pindha, Prof.IB Mantra, Dewa Made Beratha. Dalam keyakinan Bali, untuk tidak “sisip” dalam menjalankan Dharma kepemimpinan.
Dikatakan, mewacanakan pembangunan Bali, dengan pendekatan liberal kapitalistik, sudah tentu sudah ketinggalan zaman, bertentangan roh kebudayaan Bali itu sendiri, dan juga dipertanyakan dengan ide sosialisme yang mendasari perumusan UUD 1945 yang semestinya menjadi batu penjuru dalam membangun bangsa ke depan. (Sutiawan)