Refleksi Raina Tilem Kapat, Politisasi Desa Pakraman, Ancaman dan Tantangannya
Ilustrasi
Hari ini, Jumat, 1 November 2024, raina Tilem Kapat, Sasih Kapat 1946, raina yang bermakna agak khusus, dalam masyarakat Bali dengan tradisi Bali Mula yang kental.
Tradisi yang terawat dan terjaga, dengan “pelukan” kepemimpinan raja besar Bali Cri Aji Jayapangus, yang telah menjadi “way of life” bagi masyarakat “penyungsungnya”. Dalam rentang waktu, melebihi 10 abad, lebih dari 1,000 tahun, yang menggambarkan kenyalnya peradaban ini dalam merespons tantangan zamannya.
Sebuah peradaban yang sekarang ditemukan, tidak saja di Bali Pegunungan yang membentang luas, sebut saja dalam Bentang Alam: Balingkang, Alas Menaun, Gebog Domas (800 Kepala Keluarga) penyungsung Pura Pucak Tegeh Penulisan, Sukawana, Bantang, Selulung, Cintamani. Kembang Sari, 11 Desa penyungsungPura Bukit Sinunggal. Lanjut Desa Tejakula, yang “naik” ke Sukawana, bagian dari 45 krama “pengarep” Tejakula-Sukawana ring Bale Agung Sukawana. Kintamani Barat: “Cipakan” Lampu, Tiblun, Blantih, Pengejaran, Catur, Tambakan, Bontihing, Pakisan.
Jejer kemiri perdesaan: Bukit Bon, Pucak Mangu dan palebahan Sisi Utara Badung. Di wilayah Timur Bali Dwipa, Desa Pakraman “penyungsung” Pura Besakih, yang sebut saja “diwakili” oleh Desa tua Kladian. Penyungsung Pura Pasar Agung yang “diwakili” oleh Desa se kecamatan Bebandem, Subudi, Sogra.Di wilayah Barat Bali Dwipa, menyebut beberapa: Wongaya Gede, Petali Senganan, ategepan Desa Pakraman “ngider bhuwana” ring Gunung Batukaru.
Tradisi Bali Mula ini, mudah ditemukan sebut saja di sejumlah Desa Pakraman Denpasar dewasa ini. Peradaban Bali Mula, yang untuk sederhananya dilakukan “inovasi ” sosial oleh Mpu Kuturan Raja Kerja, seizin raja: Warmadewa – Mahendra Data, peletak dasar dari era Bali Pertengahan, dengan Desa Pakraman dengan sistem keyakinan Tri Murthi dengan Kahyangan Tiga Nya, sekitar 1,020 tahun lalu.
Memasuki Milenium Ketiga abad ke 21, Desa Pakraman dihadapkan ke tantangan fenomena politisasi, untuk tujuan politik praktis, meraup suara krama. Tantangan yang mesti direspons dengan bijak, oleh mereka yang dalam tradisi Bali Mula sebagai Cri Aji Bali, pemimpin sosial dalam bahasa ke kinian di akar rumput, dalam terminologi Bali Mula, para “Mekele Gede”.
Tantangan yang dihadapi Desa Pakraman, di era politik menjadi panglima dewasa ini, menyebut beberapa, Pertama, prajuru Desa Pakraman, sekarang disebut: Bendesa Adat (istilah yang tidak seluruhnya pas), menjaga kemandirian Desa Pakraman dari “cawe-cawe” politik yang tidak bertanggung jawab, yang menggerus “taksu” Desa Pakraman.
Kedua, sudah semestinya ke depan, Perda 4/2019 Desa Adat, sebut saja menjadi “biang kerok” persoalan ditinjau ulang, dengan prinsip dasar: menjaga keajegan Desa Pakraman dari “dasa muka” cawe-cawe politik, dengan prinsip, negara berkewajiban hadir sesuai amanat konstitusi untuk mensejahterakan warganya, tanpa menintervensi Desa Pakraman yang terjamin otononominya dalam konstitusi.
Ketiga, revisi Perda No.4/2019 dilakukan dengan bijak, istilahnya tidak “gangsar tindak kuang daya”, mencakup seluruh potensi yang ada: krama Subak, krama Bendega, krama profesi lainnya, sehingga seluruh potensi yang ada di Desa Pakraman terkapitalisasi dengan optimal. Peran negara sebatas meminjam istilah dalam tradisi pendidikan Nusantara “tut warisan handayani”.
Peristiwa politik “keras” di Bali di era tahun 1960’an, dijadikan cermin untuk belajar dan kemudian menjadi bijak bagi semua pihak, agar peristiwa tsb.hanya terjadi sekali, tidak boleh terulang di masa depan. Masyarakat Bali semestinya sanggup melakukannya, dengan tradisi nyastra kuat, yang terwariskan secara panjang dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya.
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu.