Denpasar, (Metrobali.com)

Desa Adat ikut berpolitik praktis memang sangat riskan. Untuk menghilangkan politik praktis di banjar dan desa Adat, bukan dengan cara membubarkan MDA. Justru MDA harus diperkuat siapa pun nanti jadi Gubernur Bali, apakah Koster-Giri atau Muliawan-Agus Suradnyana.

Jro Gde Sudibya, salah seorang pendiri dan sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya, mensosialisasikan dan memberikan tafsir baru terhadap keteladanan kepemimpinan Pakira-kira I Jro Mekabehan Mpu Kuturan Raja Kertha.

Menurutnya, jika desa adat dilemahkan, apalagi ada wacana MDA ingin dibubarkan oleh salah satu Paslon Gubernur Bali maka serangan terhadap desa Pakraman baik oleh orang Bali sendiri yang punya keyakinan yang berbeda dan bukan orang Bali akan semakin nyata di lapangan. Pasraman dan Keyakinan yang berbeda akan tumbuh dan berkembang di Bali.

Dikatakan, justru posisi MDA ini harus diperkuat dengan merivisi pasal 18 Perda Desa Adat. Sehingga peran dan fungsi MDA semakin kuat melindungi krama desa adat dari tekanan politik praktis dan bersama sama pemerintah MDA ikut mensejahterakan krama adatnya.

Menurutnya, Desa Pakraman sebagai lembaga semestinya steril dari politik praktis, sehingga terjaga kemandiriannya dalam dinamika politik yang dinamis, dengan risiko yang menyertainya.

Menurutnya, sejarah politik kontemporer Bali, bisa “cerita banyak” tentang risiko politik ini. Dengan catatan Bendesa Adat, Penyarikan Adat, Peduluan, sudah semestinya melakukan politik tingkat tinggi (high politic), memberi arahan ke warga secara relatif tertutup, untuk melakukan pilihan politik berbasis Pancasila, dan memperkirakan secara objektif, kemana hak politik krama disalurkan, yang diyakini dapat menampung aspirasi dan kepentingan krama secara keseluruhan. Meniru politik “tinggi” dari organisasi keagamaan besar lainnya, yang mereka sering lakukan.

Dikatakan, masih segar dalam ingatan publik Bali, tegang dan tingginya suhu politik Bali di dasa warsa 1960’an, sehingga tidak kurang dari seorang guru agama di Badung (sekarang Denpasar dan Badung) diera itu, I Gusti Ketut Kaler dalam ceramahnya ke desa-desa untuk menenangkan masyarakat, memperkenalkan ajaran Tri Hita Karana, yang kemudian terkenal itu.

Dalam penuturan salah seorang putra beliau, dalam sebuah diskusi yang diadakan di Bali Post, sekitar pertengahan tahun 1990’an, disampaikan dalam sebuah ceramah Pak Kaler, menggunakan ilustrasi penjual es yang harus melayani seluruh pembelinya, tanpa membedakan pilihan politik (yang di era itu sangat “panas”).

Dikatakan, tindakan ini, merupakan contoh kongkrit dari penerapan Tri Hita Karana. Berdasarkan pengalaman I Gusti Kaler tsb di atas, tantangan bagi penyuluh agama dewasa ini, untuk mencerahkan masyarakat, menggunakan ajaran Tri Hita Karana sebagai perekat persatuan masyarakat, dalam potensi keretakan akibat berbedanya pilihan politik.

Menurutnya, peristiwa politik dalam dasa warsa tahun 1960’an, semestinya dijadikan momentum untuk mawas diri dan koreksi diri, dari risiko politik yang tinggi. Antar Semeton saling sikut dan antar dadia saling bermusuhan.

Oleh karena itu, Desa Pakraman harus Steril dari Politik Praktis, Tetapi Bendesa dan Pengurus Inti Mesti Cerdas Melakukan Politik “Tinggi”, Berbasis Pancasila dan Memperoleh Jaminan Kepentingan Krama dan Masa Depannya Terakomodasi. (Sutiawan)