Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Dari perspektif sejarah, bangsa ini dibangun oleh para “guru” politik yang mumpuni di zamannya, memberikan visi dan motivasi besar untuk melawan penghinaan penjajah, membangun masa depan

“Filsafat kehidupan yang kaya nan dalam, visi dan motivasi masa depan yang hendak dibangun dalam sebuah negara bangsa yang dibayangkan atau dianggit -imagined the nation-, meminjam istilah Indonesianist ternama Ben Anderson,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan.

Menurut I Gde Sudibya, Guru bangsa ini, menyebut beberapa: Tan Malaka, HA Salim, Soekarno, Hatta, Soetan Sjahrir. Pendiri Bangsa ini, adalah guru politik dalam artian sebenarnya, Demagog Politik.

Dikatakan, mereka guru politik buat rakyat dan bangsanya, tentang hak-hak politik yang harus diperjuangkan, bersama rakyat untuk menggapai cita-cita bersama.

“Kontras dengan prilaku politik zaman NOW, yang sarat diwarnai politik umbar janji, yang untuk sebagian besar tidak akan dilaksanakan,” katanya.

Dikatakan, dengan ungkapan ke kinian: “pagi ngomong tempe, sore bicara kedele”. Kritik satire, yang menggambarkan ambivalensi, kemenduaan, dan bahkan kemunafikan dari sebagian politisi, terlebih-lebih politisi “kutu loncat” yang marak dalam “musim” Pilkada.

“Dimana muatan kampanyenya menjadi kontras, antara para pedagog politik dengan demagog politik,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, para demagog politik dengan berapi-api berkampanye tentang: deretan proyek dengan janji “sorga”, aneka ragam proyek mercu suar, janji “dasa muka” bantuan sosial, termasuk menggosok “lampu aladin” memutihkan hutang pemda.

Menurutnya, jangan ditanyakan kepada mereka: basis pilihan politik pembangunan, ukuran teknokratis: kelayakan lingkungan, dampak sosial ekonomi, ketersediaan pendanaan, risiko terpinggirkannya masyarakat lokal secara ekonomi dan kultural.

“Muatan kampanye yang sarat, meminjam istilah antropolog ternama UI Prof.Koentjoroningrat, sarat dengan sikap mental menerabas (ingin cepat, tidak menghargai proses, ingin cepat dapat untung), plus sikap politik AJI PUMPUNG,” kata I Gde Sudibya.

Dimana, lanjut I Gde Sudibya, Pesan politik yang tidak mencerdaskan, antara “Bumi dengan langit” dibandingkan dengan edukasi politik mencerahkan yang dilakukan oleh Tan Malaka, Soekarno dan Soetan Sjahrir.

Kampanye politik yang “menjebak” bahkan membodohi, bagi 80 persen pemilih yang rata-rata pendidikannya setingkat kelas 7 (tidak tamat SMP), dengan rata-rata IQ yang menurut penelitian Bank Dunia dengan skor 78, jauh di bawah Vietnam dan juga Singapura.

“Jebakan kampanye demagog ini, perlu dicerna lebih waras dan lebih cerdas oleh masyarakat pemilih, sehingga tidak mudah termakan, tamsilnya jargon politik “musang berburu ayam”, yang membuat Bali dan masa depannya tetap “tidak baik-baik” saja,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan)